Minggu, 22 Desember 2013

Aku dan Yang Pertama

Seperti merasakan yang pertama.
Seperti gadis kecil yang menunggu boneka.
Seperti para istri menunggu suami pulang kerja.
Seperti tahanan berharap remisi setiap tahunnya.

Semua kenyataan dinilai dari pertemuan.
Semua perasaan dihargai dari pertemuan.

Aku menjadi anak kecil yang takut kehilangan.
Setiap waktu gelisah melihat sekitar memantau keadaan.
Membawa yang dipeluk erat takut dicuri orang.
Selalu melihat kondisi agar tak hilang.

Itu setiap hari.
Itu setiap waktu.
Itu selalu hati.
Itu selalu kamu.

Dari setiap kata sayang yang aku sakralkan.
Disitu terletak siapa aku yang membutuhkanmu.
Dari semua kata rindu yang aku sakralkan.
Disitu ada hati yang menyayangimu.

Hingga beberapa perasaan yang menyakitkan.
Aku tahu siapa aku.

Kamis, 29 Agustus 2013

Puisi - 29 Awal

Memang seperti yang tua dan tak punya apa apa
Menyapamu saja adalah sebuah keajaiban dan renungan
Memilikimu adalah sebuah proses dan kesempurnaan
Menjagamu adalah sebuah tanggung jawab dan keharusan

Hingga kita bermain di taman yang kita anggap itu inggris
Dengan suara air yang tak berirama namun erotis
Kita percaya untuk menambahkan cerita di negara inggris sebenarnya

Hingga kita menggambar dalam sebuah kanvas yang tak simetris
Berharap tahun depan menggelar pamera berdua yang fantastis
Kita percaya untuk bersama wujudkan itu berdua

Hingga kita selalu bersama dalam berbagai acara yang manis
Kau temani aku selalu dalam pekerjaanku diluar akademis
Kita percaya untuk jadikan itu sebagai penguat asmara

Sampai saat ini hanya itulah yang aku rindu dengan sosokmu

Sabtu, 24 Agustus 2013

Puisi - 29 Pertengahan

Kemudian setelah itu menjadi  hati
Melalui dengan cerita karena kau berfikir kita seakan akan dengan masa yang lama
Aku juga demikian dan terus menjadi hati
Karena ketahuilah aku yang dengan salah mencinta berlebihan yang aku puja

Jika memang duniaku uang keliru
Jika memang caraku tak pernah pantas jadikan satu
Aku kira akan sayang ketika bersama, ternyata aku salah
Aku kira akan rindu ketika berjauhan, ternyata aku salah
Aku kira akan memahami ketika keliru, ternyata aku salah
Aku kira akan ada nasehat ketika khilaf, ternyata aku salah
Aku kira akan ada maaf ketika salah, ternyata aku salah

Ternyata aku salah, itu tak berlaku dalam duniaku
Ternyata aku salah, itu tak sekongkol dengan ceritaku
Ternyata aku salah dan ternyata aku salah

Lihat sekitarmu
Ada juga yang sakit terjatuh
Namun tak sama sepertiku

Puisi - 29 Akhir

Inilah perihal cerita persembahan semesta
Bermula dari pertemuan dan sapaan singkat ketika hari itu
Indahnya malam kala itu memang terasa
Hingga suara bisingpun tak mampu hentikan takjub sedari itu

Benar kasih, inilah yang dinamakan pertemuan sebenarnya
Karena memang seharusnya kau pilih tangan lembut yang berbeda
Meski aku tak akan pernah mengerti kenapa
Beberapa tekanan aku harus memahami
Bermacam nyanyian pelepas rindupun aku harus mengerti

Jika rasa terasa mudah dan tak harus aku pahami
Maka itulah sebenarnya alasan aku membiarkanmu pergi
Hanya saja itu bukanlah kesenangan yang aku sengaja
Namun aku tak ingin engkau berberat rasa

Indah jelas selama berbulan bulan aku menjadikanmu sosok yang terbaik
Melebihi lamunanku semenjak aku yang hanya diam
Semenjak aku yang hanya bungkam
Juga selama aku ketika engkau tak pernah mengenal pelukan ini

Terjadilah dimana waktu memilihmu untuk mengajakku lebih baik
Dengan suara yang selalu menungun untuk menjaga rasa saat itu
Atau memang sebenarnya tak mudah bagi kita untuk berjalan berdua
Karena egois ini yang selalu melebihkanmu

Dan terjadilah dimana waktu memilihmu untuk mengajariku berjalan sendiri
Sulit bagi kaki ini yang telah terbiasa menjadi pasang kakimu ketika berjalan
Atau suara ini ketika kita berandai andai untuk mengikat hati jauh lebih kuat
Karena egois inilah yang selalu menyakitimu

Ketahuilah sekarang aku tetap minyiksamu
Menjadikanmu tetap bermain dalam otak ini dan selalu bersamaku
Menjadikanmu tetap menjadi sosok yang marah ketika aku angkuh
Menjadikanmu tetap menjadi wanita yang akan menyusui anak kembar kita
Menjadikanmu tetap dan selalu ingatkanku akan jadwal pekerjaanku
Bahkan selalu menjadikanmu sosok yang akan mengambilkanku obat disaat sakit

Hingga saat ini aku menyiksamu dalam otakku
Meski bukan mata yang bertemu saat berkeinginan untuk bertukar cincin
Meski bukan air mata yang menetes saat saat mengakui kesalahan
Meski bukan jari tangan yang memegang erat saat berjalan merajah kota
Meski bukan hati yang saling mendoakan agar tetap bersama sampai tua

Engkau masih punya harapan besar untuk menjadi wanita yang baik
Yang lebih baik daripada aku yang tak bisa mengertimu

Dan maaf hingga saat ini aku menyiksamu di dalam otakku

Senin, 19 Agustus 2013

Puisi - Malam Yang Menginginkan

Singkatnya terasa rapuh
Menggugah api dari kedalaman sajak tak bermuara
Hingga esok matahari tetap begini
Menuju dengan porosnya namun sudah berbeda

Seperti malam hari yang lalu
Bertumpu dalam kerinduan penebar asa
Melangkah jauh beribu cahaya purnama tak terasa
Sambaran petir tak secepat berita dari semesta

Engkaulah mulia dalam hati ini yang aku rajut
Dengan banyaknya rasa dari kebanyakan manusia yang terbelai
Tertumpuk rapi dan tertekan oleh kepercayaan yang kuat
Hingga satu kesatuan peristiwa yang sudah ditetapkan

Engkaulah mulia dalam hati ini yang aku tuntut
Bersama puluhan ratusan ekor gagak malapetaka yang kini berdoa
Menuntut aku supaya terus lemah dan tak berdaya
Untuk mati dalam pancaroba kerinduan yang tak akan tersiram

Seterusnya tak akan kenal aku
Seterusnya tak akan teringat akanku
Dan selamanya tumbuhkan harapan untuk kembali kepadamu

Kamis, 14 Februari 2013

BULU ANGSA, SERAT KAYU & KAKAO

BULU ANGSA, SERAT KAYU & KAKAO




          Cuacanya mungkin hari ini bersahabat, seperti burung jalak yang selalu membantu kerbau menggaruk punggungnya akibat gatal karena gigitan kutu. Masih hujan tak sederas kemarin, namun dingin masih juga menyerupai selimut. Ada hujan dan ada dingin, seperti hari-hari yang tak ada sapaan dari seseorang yang selalu aku lihat dari kejauhan.
          Aku berasal dari peranakan yang ketika aku sekarang disini selalu disindir dan dicemooh, mungkin mereka mengira aku itu seperti bangsa Yeti dalam rumusan cerita Stratawarsa (cerita dongeng wangsa anglia). Atau lebih parahnya mungkin aku seperti seekor Pinu (hewan mirip penguin) yang hidup di cuaca tropis, hingga banyak hewan gurun yang tertawa terbahak-bahak melihatku selalu membawa kipas karena selalu berpeluh dan kepanasan.

“jam berapa ini?” tanyaku kepada atap dalam gubuk kosong ini.
“oh iya, aku kira langit petang menandakan sore menjelang malam. Ternyata masih siang” diluar mash hujan dengan dingin yang selalu menandakan kerinduan.

          Di daerahku ada dimana masa untuk berpesta merayakan sebuah kelahiran Dewi Anin, Dewi yang selalu memberikan kasih sayang kepada semesta. Manifestasi dari Sang Pencipta untuk mewakili sifat Maha Kasih Sayang.
          Tepat perayaan besar itu jatuh pada hari ini, namun  aku berada di  daerah orang lain yang kelihatannya berbeda ritualnya. Jika ditempatku itu diharuskan bersujud kepada ibunda kemudian pergi sembahyang ditempat yang biasa disebut Pratiwi. Namun disini tak ada ritual seperti itu, mereka disini hanya mengambil beberapa tangkai bunga di taman dan memetik buah kakao. Yang aneh semua sesembahan itu dipersembahkan untuk seseorang yang mereka kencani setiap waktu, bukan kepada seseorang yang selalu merawat dan mendoakan setiap waktu.

“Inad! Keluarlah” sahut suara diluar gubukku.
“Iya, tunggulah” jawabku kepada suara yang taka sing ditelinga.

“Ah kau ini! Turunlah dari kudamu! Bukankah masih hujan?” sembari memasang rompi.
“Ayo sekarang kita ke taman” ajak Manas
“Memangnya ada apa disana Nas? Bukankah sekarang Aninan?” heranku
“Iya benar, Aninan disini berbeda dengan daerahmu. Sudah jangan banyak berfikir, lekaslah naik, kemarilah” ajak Manas sembari ulurkan tangannya.
“Tunggu sebentar” kemudian aku masuk kedalam gubukku.
“Mau apa lagi?” Tanya Manas dari luar.
“Sudahlah jangan berisik” Sahutku dari dalam gubuk sambil mengambil sebuah bungkusan.
“Ayo kita berangkat” suruhku setelah menaiki kuda hitam berotot milik Manas
“Siap? Kita berangkat” tolehnya kepadaku
       
          Manas memacu kudanya begitu kencang hingga hujan terasa seperti batu kecil yang dilemparkan ke wajah ini.

“Pelan-pelan saja Nas” suruhku sambil mencekram bahunya
“Sudahlah jangan berisik. Biar cepat sampai” acuhnya

          Sejauh pergeseran matahari hingga melewati mendung. Perjalanan ini mungkin seperti ketika ibuku menumbuk padi atau lumayan lama seperti ketika menyuapi bayi umur 1tahun ketika rewel makan.
Hujan sudah reda, dedaunan sudah kering seperti rompi ini yang terkena matahari beberapa waktu sebeum sampai dalam taman.

“Sudah sampai Nad, ayo turun!” suruh Manas.
“Hey! Jangan bengong aja terus!” imbuhnya

          Hati ini tiba-tiba bergetar, aku melihat sebuah keajaiban semesta yang paling indah. Mata ini tercoret beribu warna dari lukisan nyata taman yang berada di depan mata ini. Aku belum pernah melihat sesuatu yang indah seperti ini, inilah pertama kali aku melihat sifat dari Sang Maha Indah begitu terpancar memabukkan jauh lebih keras dari Shivalan, minuman sesembahan untuk Sang Masadepan. Yang jelas aku terpana bukan karena taman yang ditumbuhi banyak bunga-bunga indah, seperti taman dalam cerita epic. Benar sekali, seperti Swargaloka.
          Aku sebenarnya terpana dalam sosok paras yang mengikuti garis retina mata ini. Siapakah sosok dengan rambut disanggul seperti kecantikan dari Wangsa Hun (bangsa berambut hitam,  bermata sipit dan  berkulit kuning). Seperti yang aku kenal, yang selalu ikut bermain dalam nyanyian mimpi-mimpi ini setiap malam.

“Apa yang kau lihat Nad? Kenapa seheran itu? Tak adakah taman sebagus ini didaerahmu?” tanya Manas.

          Sepertinya suara teman setunggangan kuda denganku ini tak bisa masuk ketelinga dan merubah pandangan ini. Aku melihat gadis itu seyum penuh gembira, mungkin dia sedang menunggu seseorang untuk menghampirinya. Ataukah sebenarnya aku yang dia tunggu selama ini, mungkin dalam mimpi itu bukan lah mimpi yang biasa terjadi kepada orang lain. Aku menyangkanya mimpiku itu sepert ruh yang berjalan dan masuk dalam dimensi alam rasa yang sesungguhnya memang terjadi. Bukan sesuatu yang tak pasti ataupun kebohongan sebuah hiasan. Itu benar-benar terjadi.

“Iya! Iya! Ada apa?” jawabku
“Kau kenapa? Aku bertanya puluhan kali tak kau anggap” kesal dan tanya Manas
“Oh, Aku? Tidak ada apa-apa. Ayo kita teruskan” suruhku
“Teruskan apa? Aku sedari tadi menyuruhmu untuk turun! Kamu kenapa Nad?” selidik Manas
“Hahahahaha… Aku baik-bak saja” jawabku sembari turun dari kuda.
“Ah! Kamu aneh” kemudian Manas mengikatkan tali ke pohon besar.
“sekarang kita ke taman. Siapa tahu kutemukan jodoh untukmu. Haha” gurau Manas

          Aku ragu sebenarnya, seakan melihat gadis itu semakin mendekat. Seakan seperti perasaan yang sudah lama tahu namun tak saling bicara. Dan gadis itu semakin dekat saja. Aku heran, aku seperti patung Dewa Godam yang tak bisa bergerak. Ternyata tak salah lagi tentang gadis itu. Dialah Nitak, gadis yang berada dan belajar di pedepokan Paman Jaman. Benar sekali, dia itu Jendrawasi (sebutan wanita yang belajar di Pedepokan) satu tingkat dibawahku.

“Sore Kak Manas” sapanya mendekat kepada kita
“Wah Nitak. Sore juga, sedang apa kau disini?” tanya Manas
“Aku sedang bermain disini, aku ingin berdoa untuk Dewi Anin juga” jawab lembutnya
“Oh iya Nad, kenal dia engga?” tanya Manas kepadaku
“Oh akrab, maksudku kenal. Hmmmm bukan, maksudku tahu” jawabku gugup
“hehehehe… sore Kak Inad” sapa Nitak
“sore juga Nitak” jawabku sembari membukukkan badan salam hormat seperti pada umumnya
“Nitak sedang apa disini?” tanyaku dengan suara yang aku buat lembut
“khan udah aku jawab tadi” jawabnya singkat
“oh iya, aku lupa” senyumku dengan menggaruk rambut dikepala
“kamu kenapa sih Nad?” tanya Manas
“gugup sekali seperti ingin bertemu Bhutasvara (Penguasa Setan)” imbuhnya
“ah, tidak! Cumin senang bisa ketemu Nitak” jawabku dengan suara getar lirih
“hahaha… soalnya Kak Inad enggan mau menyapa sih kalau bertemu di Padepokan” ungkap Nitak
“jarang ketemu khan Dik” jawabku
“bukan jarang, cuman dia takut kalau ketemu gadis keturunan Wangsa Hun.  Hahahaha” sindir Manas
“bener? Memangnya kenapa Kak?” selidik Nitak kepadaku.
“Ah tidak. Itu cuman sangkaan Manas saja dik” jawabku
“emang ada yang salah dengan orang sipit ya?” tanya Nitak
“engga ada yang salah kok dik. Sudah! Sudah! Ayo kita kesana” tangkas Manas sembari menunjuk ke sebuah mahanten (pondok kecil)

          Setibanya di mahanten dengan suasana kesakralan sebuah hari yang begitu mulia dan langit yang menuntun bintang untuk menghiasi gelap. Pancaran ratusan obor berada ditaman yang dipegang oleh banyak orang yang akan melakukan ritualnya masing-masing.

“bagaimana kau akan melakukan ritualmu sebagai wangsa hun?” tanyaku kepada Nitak
“hmmmmmm” Nitak mengembil nafas dalam-dalam
“tunggu sebentar, aku akan ke mahanten sisi utara” pamit Manas
“hati-hati Nas” jawabku

          Kemudian Manas mengambil beberapa Kakao yang dibawa dari gubuk tempat tinggalnya. Dia meninggalkan kita disebuah mahanten dengan obor yang mulai redup.

“bagaimana?” tanyaku
“apanya bagaimana kak?” jawab Nitak
“itu, yang aku tanya tadi?” selidik menggebu-gebu
“apa perlu buatmu Kak?” tanya balik Nitak
“setidaknya kau tahu bagaimana kamu” jawabku
“bukankah Kakak sudah tahu?” toleh Nitak dengan wajah siluet terkena sinar obor berwarna jingga.
“ha? Tahu bagaimana?” heranku

          Kemudian hanya suara serangga yang terdengar dan beberapa nyanyian puja dewi dari kejauhan. Nitak membuka sebuah bungkusan dan mengambil sesuatu yang bentuknya memang aku tahu.

“apa itu?” tanyaku
“bukankah Kakak sudah tahu?” tegasnya sembari memagang benda tersebut
“boleh aku melihat?” pintaku

          Kemudian Nitak membuka lapisan yang menutupi benda tersebut. Itulah benda yang berbentuk bulu angsa yang sudah aku tahu. Kemudian dia memberikannya kepadaku

“sepertinya benda ini bagus” tolehku kepadanya
“bukankah Kakak sudah tahu?” tanya Nitak dengan nada yang sama seperti sebelumnya
“apakah benar?” heranku
“iya” jawabnya
“apakah benar selama ini?” heranku lagi
“iya, benar” tegasnya
“apakah bisa? Apa benar-benar bisa?” tanyaku enggan percaya
“iya, bisa” Nitak menjawab dan terdengar seperti menahan air mata yang akan menjadi tangis
“maafkan aku Annyee” lirih suaraku

          Kemudian malam itu sebagai pemuja Dewi Anin dan sebagai jawaban dari semua pertemuan dalam dimensi alam rasa. Selama ini ternyata sosok yang ku temui setiap mimpi malam dalam alam rasa adalah Nitak dan yang biasa aku sebut mesra namanya menjadi Annyee dalam nyanyian malam sastra disetiap pertemuan. Benda bulu angsa itu adalah sebuah alat tulis yang biasa aku buat untuk menggambar dan menulis nyanyian puja ketika berdua bersamanya dialam rasa. Sudah beberapa purnama aku ikrarkan untuk berpisah dengannya, hingga aku berani memberikan bulu angsa itu kepadanya. Alasan yang mulia bagiku saat itu adalah tidak mengikrarkan janji sacral sebuah hubungan abadi karena aku didunia sudah memuja sebuah paras yang membentuk sosok Nitak, namun aku tak tahu ternyata Nitak yang ada didunia ternyata Annyee yang biasa aku peluk serta bermain seruling Krishna di alam rasa.
          Hingga malam yang sejatinya untuk berdoa itu berubah menjadi sebuah rasa yang mulai terombang-ambing layaknya perahu Kalakeya (Wangsa penguasa lautan). Kemudian aku buka bungkusan yang ku bawa dari gubuk rumahku sedari tadi. Sebuah serat kayu yang biasa aku gunakan untuk menulis dan menggambar.

“biarkan semua nyanyian dan gambaran dari alam rasa mampu menjadikan satu sebuah keheningan doa, dan menjadikan kehampaan dan kesepian beralihmenerangi suatu bentuk yang bernama pertalian kasih semesta” ungkapku dengan debar hati dan menyerahkan serat kayu itu kepada Nitak
“terima kasih Bakhtee” tangis Nitak
“hari ini biarlah aku merubah kesakralan Dewi Anin daerahku untuk ikut tanah disini” tundukku
“Kakao ini menjadi sebuah arti” imbuhku serta memberikan Nitak sebuah petikan buah Kakao

          Hingga aku berdiri memandang banyak gugusan bintak yang berkelip menandakan sebuah harapan. Aku berjalan pergi menjauhi dan menghilang. Kemudian Nitak menatap bintang dilangit dan berpuisi dari kejauhan.

Aku adalah alam rasa
Dari semesta untuk semesta
Aku adalah kasih alam rasa
Biarkan semesta untuk semesta

Hingga hari ini telah aku temukan
Bahwa sesungguhnya alam rasa adalah nyata
Dari kejauhan yang ternyata dekat
Dan bertemu menjadi sesuatu yang pergi

“Bakhtee!!! Akankah aku menjadi Nitak atau Annyee??!!!” dia bertanya dengan tangis hingga sebuah seruan puja-puji semua orang di taman mendengung seperti suara lebah pertanda munculnya berkah Dewi Anin

          Kemudian aku menoleh kepadanya…

“Aku, Bulu angsa, Serat kayu dan Kakao itu sayang padamu”


(Malang, 14 Februari 2013)