Minggu, 17 Juni 2012

Ombak Yang Tak Terdengar

-->
OMBAK YANG TAK TERDENGAR

Seperti Beethoven disaat mengatur nada dalam simfoninya, aransemen magis dari seni lantunan lagu yang menjadi karya yang tak tergantikan.  Tapi dia tak bisa mendengar, semua  tak ada nada disekitarnya, kepercayaan diri dari tuntunan semesta. Nada yang hanya terlihat dari gerak manusia, gerak kehidupan dan gerak cinta.
Seperti aku saat ini, meski aku membuka mata tetapi tetap gelap, tetap tak terlihat. Aku butuh lilin, aku butuh lampu ataupun aku butuh bintang. Tak ada suara juga, bagaimana aku mendengar jika hanya gelap yang terlihat? Bagaimana aku melihat, jika tak ada nada yang terdengar. Ini bukan malam, ini bukan dalam penjara bagi tahanan yang tak ada lagi ampunan. Aku dimana? Aku dimana? Aku berada dimana sekarang? Ada cahaya datang…
Pagi ini aku berada dipinggiran pantai yang indah, hari pertama setelah kemarin malam datang untuk melepas semua kesibukan yang membekukan otak. Sembari menghisap rokok dan menyanyi kecil, nadanya mulai membuatku melamun.
“Kita pulang kapan?” Tanya nizal
“Santai aja dulu ya, besok atau lusa. Persediaannya masih banyak khan?” Aku menjawab pertanyaannya yang kagetkanku

Jumat, 15 Juni 2012

Nasib Buruh Lebih Buruk dari Budak

Nasib Buruh Lebih Buruk dari Budak

Hari yang panas dengan tenggorokan yang kering karena hari ini adalah bulan Ramadhan. Kata-kata memeras keringat membanting tulang rasanya sangat cocok dalam suasana Ramadhan yang tertulis di saputangan seorang kuli bangunan, tukang gali sumur, kuli angkut, kuli pelabuhan atau siapa saja yang berprofesi pokok menjadi kuli-kuli swasta yang bekerja untuk membuat asap dapur bisa mengepul dan menjadikan keluarga bisa berbuka bersama

"Wah, kasihan ya pak, tukang itu bekerja sampe segitu beratnya" ujar Lomov sembari menepuk pundak Sprokov.
"Yang Mana?" tanya Sprokov mencari bukti visual dari omongan Lomov.
"Iku lho di bawah! Orang yang gali sumur" tunjuk Lomov ke seorang pria yang berumur setengah baya tanpa baju yang sedang menggali sumur berharap sumber air segera menyembur.
"Oalah... cuman segitu doang," kata Sprokov ketus.
"Lho?! Ngawur kamu, seenak udelmu ngremehin" dengan nada agak tinggi Lomov merespon ucapan Sprokov,

Darah Yang Menahun


DARAH YANG MENAHUN


I triumphed in the face of adversity…
and I became the man I never thought I'd be.
And now my biggest challenge, a thing called love…
I guess I'm not as tough as I thought I was.


Lirik yang aku suka ketika duduk bersandar nikmati beberapa rokok sebelum berangkat untuk suatu perjalanan. Mencumbu udara sembari menyiapkan beberapa pakaianku sebagai ganti selama berkeliling wisata.  Aku adalah mahasiswa sastra semester akhir dan juga seorang penikmat alam dan budaya, aktif dalam UKM Fakultas di kampusku.
Hari ini aku sendiri sudah siap untuk perjalanan ke Gunung Welirang , dataran tinggi yang berada di perbatasan antara Malang dan Mojokerto. Aku berangkat kira-kira jam Sembilan pagi dengan mengendarakan motor bebek kesayangan, motor yang menemaniku setiap perjalanan mbolang. Perjalanan yang sangat membosankan, menjadi diri yang kerdil diantara truk dan bus yang banyak melaju ke Pasuruan dan Surabaya.

“Ah! Kapan aspal ini akan berakhir”. Gumamku dalam hati.

Hingga dalam perjalanan terpaku dengan megahnya Candi Jawi, salah satu bangunan peninggalan Kerajaan Singosari yang mewakili peninggalan kuno pada saat ini. Kokoh menjulang dan mencakar langit, dengan membawa kisah kejayaan pada eranya. Kebanggaan yang tidak ada habisnya ketika aku berdialog dengan bule, manusia yang diagungkan dan di Dewa-dewakan di Kampusku yang hampir mengalahkan Ganesha.

Kamis, 14 Juni 2012

Puisi - MAAF NYONYA


MAAF NYONYA


Maafkan aku nyonya
Aku mengganggumu ketika kau tertawa
Ketika kau bersama nostalgia, ternyata aku bisingkan suara
Ketika hangatnya matahari, aku siram semua hingga dingin terasa

Maafkan aku Nyonya
Aku mengganggumu ketika kau menari
Ketika kau gemulai manja bukan untukku, aku apaksa hingga kau terganggu
Ketika nyanyianmu merdu, nada didalamnya tak ada namaku

Maafkan aku Nyonya, maafkan
Hingga hari ini aku mengganggu, tunggulah esok ketika matahari mulai hangat
Kau akan tersenyum lagi dengan semua nyanyian dan pelukan lain

Maafkan aku Nyonya, maakan
Aku terlalu semangat berusaha mencari balasan, tanpa tahu bagaimana angin mengarahkan
Hingga aku sadar, untuk siapa yang kau inginkan untuk bersandar

Kau bebas lagi, bersama malammu, bersama bintangmu, dan bersama kisahmu yang baru
Terima kasih
Terima kasih ya
Terima kasih ya Nyonya

Sempu, 13 Juni 20120

Bintang dan Lumba-lumba


Bintang dan Lumba-lumba

“Kamu bete?”
            Sapaan itu sadarkan aku yang sekarang sedang menaiki motor. Melamun kejadian mulai hari kemarin hingga berlarut sampai malam ini. Berada diatas motor dengan membonceng seseorang. Ya! Seseorang siapa yang berada dibelakangku ini.
            Diatas motor ini masih teringat suasana sempu dikala pagi, dikala senja sampai larutkan lamunan ke malam yang begitu dingin.
            Kemarin pagi aku, dia dan beberapa teman sudah berkumpul di lapangan parkir kampusku, fun camp yang dirancang menarik hingga akan lupa bahwa minggu depan kita harus berhadapan dengan ujian akhir semester. Mewajibkan diri ini untuk bersenang-senang, tertawa dan berteriak hilangkan kepenatan. Hanya beberapa teman saja yang ikut serta. Ada Fadly, Mithun, Yamani, Muniagara, Nabo, Widya, Saras dan aku. Yang dilihat oleh banyak orang disekitar lapangan parkiran bahwa kita rombongan yang berpasangan. Tidak mungkin, memang Fadly bertunangan dengan Saras, Yamani sudah berpacaran dengan Mithun. Nabo si gadis kecil itu mantanku, namun sekarang dia lebih nyaman berada dipelukan muniagara. Sedangkan aku sekarang bersama siapa, Widyaraga. Dia gadis yang dulu membangunkan aku dari tidur panjang diatas pesakitan, dia yang suruh aku move on dan memoles hati ini. Gadis yang sangat baik bagiku.
            “Sudah siap?” Tanya Muniagara kesemua anak-anak
            “Siap” jawab Yamani dan Nabo
            “tunggu, aku masih pakai jaket” mithun  membalas dengan tergesa-gesa
            “sip” fadly mengacungkan jempol
“ayo berdo’a dulu sebelum berangkat” suruh muniagara
Suasana saat itu hening, khitmat dan begitu damai. Aku melihat Widyaraga menundukkan

Puisi - BINTANG BERNAMA CINTA


BINTANG BERNAMA CINTA

Bintang itu belum bernama
Sepatutnya aku mengerti bahwa semesta telah membukakan pintu
Dari luarpun sangat terlihat bahwa tak ada apa-apa

Bintang itu belum bernama
Sinarnya bersuka berjalan silaukan mata
Tangan ini mencari-cari pegangan untuk hangatnya kemesraan

Bintang itu mulai bernama
Aku sangat senang, aku sangat suka
Seperti semut mencari sesuatu yang manis

Bintang itu mulai bernama
Ketika ombak kecil tambahkan irama, aku rebahkan untuk melihatnya
Yang sebenarnya redup, aku salah mengartikannya

Dan… bintang itu bernama cinta…

                                                                                                                Sempu, 12 juni 2012