Jumat, 15 Juni 2012

Nasib Buruh Lebih Buruk dari Budak

Nasib Buruh Lebih Buruk dari Budak

Hari yang panas dengan tenggorokan yang kering karena hari ini adalah bulan Ramadhan. Kata-kata memeras keringat membanting tulang rasanya sangat cocok dalam suasana Ramadhan yang tertulis di saputangan seorang kuli bangunan, tukang gali sumur, kuli angkut, kuli pelabuhan atau siapa saja yang berprofesi pokok menjadi kuli-kuli swasta yang bekerja untuk membuat asap dapur bisa mengepul dan menjadikan keluarga bisa berbuka bersama

"Wah, kasihan ya pak, tukang itu bekerja sampe segitu beratnya" ujar Lomov sembari menepuk pundak Sprokov.
"Yang Mana?" tanya Sprokov mencari bukti visual dari omongan Lomov.
"Iku lho di bawah! Orang yang gali sumur" tunjuk Lomov ke seorang pria yang berumur setengah baya tanpa baju yang sedang menggali sumur berharap sumber air segera menyembur.
"Oalah... cuman segitu doang," kata Sprokov ketus.
"Lho?! Ngawur kamu, seenak udelmu ngremehin" dengan nada agak tinggi Lomov merespon ucapan Sprokov,
"Kamu gak ngerti jerih payah pak tukang itu. Lihat, kerjanya berat, kamu ngerti gak gajinya berapa?! Kamu berpikir gak soal imbalan yang didapat pak tukang itu? Semua gak setimpal Krov! Ga setimpal!!" seru Lomov berbicara kepada Sprokov dengan menggebu-gebu seperti dosen yang tidak mau kalah mempertahankan argumennya.
"Wis?" kata Sprokov singkat,"Ayo jalan!" tambah Sprokov.
"Lho? Lho? Tapi...." terheran Lomov menyahut. Tapi sebelum Lomov selesai bicara Sprokov sudah berjalan meninggalkannya. Melihat itu, dengan tensi tinggi Lomov membuntuti Sprokov. Tiba di pertigaan sebuah perusahaan rokok mereka berdua sepakat mencari tempat duduk, kebetulan ada di bawah pohon yang sangat rindang.
"Seger, Hmmmm..." ujar Sprokov dengan melihat jam tangannya.
"Maghrib kurang satu jam lagi Kov!" sahut Lomov karena melihat Sprokov yang mengecek jam tangannya.

Beberapa menit kemudian buruh pabrik rokok terlihat berbondong-bondong pulang dengan agak tergesa-gesa. Mungkin kebanyakan mereka ingin cepat-cepat pulang untuk menyiapkan hidangan berbuka puasa. Dengan teliti dan senyam-senyum Sprokov memperhatikan beberapa orang buruh pabrik yang pulang. 

"Bahagianya mereka ya..." celetuk Lomov mengomentari,"Punya gaji tetap, apalagi mau lebaran. Wah! THR pasti mereka dapat," imbuh Lomov. 

Panas yang sudah hilang karena suasana sudah sore dengan jalan raya yang masih dipadati oleh buruh pabrik yang pulang kerja. Dengan suara ditekan Lomov bertanya, "Kamu kok diam dan senyum-senyum? Memangnya kenapa? Aku ngomong masalah buruh pabrik tadi juga gak kamu respon" .
"Memangnya aku mau ngomong apa? Aku mau jawab apa?" santai Sprokov menyahut.
"Lha masalah itu tadi, kan enak jadi buruh daripada jadi tukang gali sumur tadi," ujar Lomov.
"Ah tidak juga!" jawab Sprokov
"Tidak gimana?" sergah Lomov heran,"Jelas-jelas buruh pabrik itu gajinya tetap dan tukang gali sumur itu upahnya gak tetap, kok dibilang sama. Lha mau gaji tetap gimana wong bekerja tanpa majikan dan tanpa pabrik. Bahkan kalau gak ada yang butuh membuat sumur, pastinya tukang gali itu gak ada kerjaan" terang Lomov dengan urat leher yang mulai membesar. 
"Lha kan mending jadi tukang gali sumur tho?" santai sekali Sprokov menjawab.
"Ngawur kamu! Tukang sumur itu kalah sama buruh pabrik Kov," sergah Lomov dengan muka agak merah menahan geram,"Nasib tukang gali sumur lebih parah dibanding nasib buruh."
"Kamu itu ngerti apa Mov!" singkat Sprokov mengomentari.
"Lha kamu itu yang gak mengerti apa-apa Kov!" timpal Lomov berang.
"Sudahalah percaya aku! Nasib tukang gali sumur itu lebih baik daripada nasib buruh pabrik!" seru Sprokov sudah tidak tahan karena Lomov terus menggumam dan merengek seperti anak kecil yang minta balon warna-warni ke orangtuanya.
Lomov melengos. Ia tidak terima dengan perrnyataan Sprokov.
"Begini lho Mov...," perlahan Sprokov mendekati Lomov dengan merangkul pundaknya, "Kenapa aku kelihatannya membela tukang gali sumur itu ketimbang buruh pabrik, karena alasanku begini Mov! Lihat aku!" Sprokov mengumbar kata-kata yang mulai turun nadanya, mencoba untuk menetralkan suasana sore itu,"Coba dengar dulu alasanku. Coba dengar!"
Sore itu dimulailah pelajaran baru bagi Lomov, dengan mencoba memahami apa yang akan dikatakan Sprokov, dengan menyimak apa yang akan diungkapkan Sprokov. Ia mulai belajar mendengar. Setelah diam sejenak, ia berkata,"Aku siap mendengar!"
"Lihat aku!" kata Sprokov menjelaskan,"Buruh pabrik itu bekerja dengan sistem kontrak - outsourcing! Meskipun mereka punya gaji yang tetap toh itu sudah menjadi kesepakatan mereka dan saya yakin itu pasti upah minimum. Mereka mau atau tidak mau ya harus bekerja, rata-rata mereka mau mengikuti system kontrak seperti itu karena lapangan pekerjaan yang semakin sempit di samping hanya segelintir orang saja yang mempunyai alat dan aset produksi. Mereka yang bekerja dengan sistem kontrak tidak akan bisa menuntut masa depan yang lebih baik, soalnya sudah sepakat haknya diukur oleh gaji yang sudah mereka tanda tangani, entah gaji itu cukup entah tidak. Ini dibuat agar efisien, tenaga kerja sudah dianggap murah. Bahkan jika kita pikir, ini lebih parah dari sistem perbudakan jaman dulu," kata Sprokov dengan sabar menjelaskan pandangannya.
"Lho kenapa bisa lebih parah dari sistem perbudakan?" tanya Lomov kaget.
"Jelas lah! Meski sistem perbudakan pada jaman dulu kelihatan keras, toh pemilik budak masih bertanggung jawab atas kelangsungan hidup si budak yang telah dibelinya. Pemilik budak wajib memberi makanan yang layak, tempat tinggal yang layak, mengobati jika budaknya sakit, dan menikahkan budaknya. Bahkan pemilik budak wajib menjaga kehormatan budak-budaknya dan membela nasib mereka dari kekerasan pihak lain."
"Sementara buruh, semua haknya sudah terikat didalam upahnya," imbuh Sprokov membeberkan alasan,"Juragan tidak wajib memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, kesehatan, dan pernikahan buruhnya. Kewajiban juragan Cuma satu: membayar upah! Apakah upah itu cukup untuk makan, menyewa rumah, berobat ke rumah sakit, atau menikah bukanlah urusan juragan. Bahkan jika buruh dianiaya, disiksa, dizhalimi orang dalam tindak kriminal bukanlah urusan majikan." 

Suasana sore itu berubah menjadi tambahan pengetahuan bagi Lomov. Semula ia menganggap nasib para buruh itu lebih bagus daripada tukang gali sumur, tapi sekarang ini ia justru prihatin kepada mereka yang bekerja sebagai buruh yang ternyata nasibnya lebih buruk dibanding budak. 

Suasana semakin sore, mega yang menghiasi langit dan merubahnya menjadi jingga di langit barat.
"Sudah jangan dipikir, ini sudah menjelang maghrib, kita siap-siap mencari makanan untuk berbuka puasa," Sprokov tersenyum manis dengan pandangan bijak bijak.
"Emh iya," sahut Lomov lirih,"Tapi sebentar. Aku benar-benar masih kepikiran untuk membandingkan kedudukan buruh dan budak."

0 komentar:

Posting Komentar