Nasib Buruh Lebih Buruk dari Budak
Hari yang panas dengan tenggorokan yang kering karena hari
ini adalah bulan Ramadhan. Kata-kata memeras keringat membanting tulang
rasanya sangat cocok dalam suasana Ramadhan yang tertulis di saputangan seorang
kuli bangunan, tukang gali sumur, kuli angkut, kuli pelabuhan atau siapa saja
yang berprofesi pokok menjadi kuli-kuli swasta yang bekerja untuk membuat asap
dapur bisa mengepul dan menjadikan keluarga bisa berbuka bersama
"Wah,
kasihan ya pak, tukang itu bekerja sampe segitu beratnya" ujar Lomov
sembari menepuk pundak Sprokov.
"Yang
Mana?" tanya Sprokov mencari bukti visual dari omongan Lomov.
"Iku
lho di bawah! Orang yang gali sumur" tunjuk Lomov ke seorang pria yang
berumur setengah baya tanpa baju yang sedang menggali sumur berharap sumber air
segera menyembur.
"Oalah...
cuman segitu doang," kata Sprokov ketus.
"Kamu
gak ngerti jerih payah pak tukang itu. Lihat, kerjanya berat, kamu ngerti gak
gajinya berapa?! Kamu berpikir gak soal imbalan yang didapat pak tukang itu?
Semua gak setimpal Krov! Ga setimpal!!" seru Lomov berbicara kepada
Sprokov dengan menggebu-gebu seperti dosen yang tidak mau kalah mempertahankan
argumennya.
"Wis?"
kata Sprokov singkat,"Ayo jalan!" tambah Sprokov.
"Lho?
Lho? Tapi...." terheran Lomov menyahut. Tapi sebelum Lomov selesai bicara
Sprokov sudah berjalan meninggalkannya. Melihat itu, dengan tensi tinggi Lomov
membuntuti Sprokov. Tiba di pertigaan sebuah perusahaan rokok mereka berdua
sepakat mencari tempat duduk, kebetulan ada di bawah pohon yang sangat rindang.
"Seger,
Hmmmm..." ujar Sprokov dengan melihat jam tangannya.
"Maghrib
kurang satu jam lagi Kov!" sahut Lomov karena melihat Sprokov yang
mengecek jam tangannya.
Beberapa menit kemudian buruh pabrik rokok terlihat
berbondong-bondong pulang dengan agak tergesa-gesa. Mungkin kebanyakan mereka
ingin cepat-cepat pulang untuk menyiapkan hidangan berbuka puasa. Dengan teliti
dan senyam-senyum Sprokov memperhatikan beberapa orang buruh pabrik yang
pulang.
"Bahagianya
mereka ya..." celetuk Lomov mengomentari,"Punya gaji tetap, apalagi
mau lebaran. Wah! THR pasti mereka dapat," imbuh Lomov.
Panas yang sudah hilang karena suasana sudah sore dengan
jalan raya yang masih dipadati oleh buruh pabrik yang pulang kerja. Dengan
suara ditekan Lomov bertanya, "Kamu kok diam dan senyum-senyum? Memangnya
kenapa? Aku ngomong masalah buruh pabrik tadi juga gak kamu respon" .
"Memangnya
aku mau ngomong apa? Aku mau jawab apa?" santai Sprokov menyahut.
"Lha
masalah itu tadi, kan enak jadi buruh daripada jadi tukang gali sumur
tadi," ujar Lomov.
"Ah
tidak juga!" jawab Sprokov
"Tidak
gimana?" sergah Lomov heran,"Jelas-jelas buruh pabrik itu gajinya
tetap dan tukang gali sumur itu upahnya gak tetap, kok dibilang sama. Lha mau
gaji tetap gimana wong bekerja tanpa majikan dan tanpa pabrik. Bahkan kalau gak
ada yang butuh membuat sumur, pastinya tukang gali itu gak ada kerjaan"
terang Lomov dengan urat leher yang mulai membesar.
"Lha
kan mending jadi tukang gali sumur tho?" santai sekali Sprokov menjawab.
"Ngawur
kamu! Tukang sumur itu kalah sama buruh pabrik Kov," sergah Lomov dengan
muka agak merah menahan geram,"Nasib tukang gali sumur lebih parah
dibanding nasib buruh."
"Kamu
itu ngerti apa Mov!" singkat Sprokov mengomentari.
"Lha
kamu itu yang gak mengerti apa-apa Kov!" timpal Lomov berang.
"Sudahalah
percaya aku! Nasib tukang gali sumur itu lebih baik daripada nasib buruh
pabrik!" seru Sprokov sudah tidak tahan karena Lomov terus menggumam dan
merengek seperti anak kecil yang minta balon warna-warni ke orangtuanya.
Lomov
melengos. Ia tidak terima dengan perrnyataan Sprokov.
"Begini
lho Mov...," perlahan Sprokov mendekati Lomov dengan merangkul pundaknya,
"Kenapa aku kelihatannya membela tukang gali sumur itu ketimbang buruh
pabrik, karena alasanku begini Mov! Lihat aku!" Sprokov mengumbar
kata-kata yang mulai turun nadanya, mencoba untuk menetralkan suasana sore
itu,"Coba dengar dulu alasanku. Coba dengar!"
Sore
itu dimulailah pelajaran baru bagi Lomov, dengan mencoba memahami apa yang akan
dikatakan Sprokov, dengan menyimak apa yang akan diungkapkan Sprokov. Ia mulai
belajar mendengar. Setelah diam sejenak, ia berkata,"Aku siap
mendengar!"
"Lihat
aku!" kata Sprokov menjelaskan,"Buruh pabrik itu bekerja dengan
sistem kontrak - outsourcing! Meskipun mereka punya gaji yang tetap toh
itu sudah menjadi kesepakatan mereka dan saya yakin itu pasti upah minimum.
Mereka mau atau tidak mau ya harus bekerja, rata-rata mereka mau mengikuti
system kontrak seperti itu karena lapangan pekerjaan yang semakin sempit di
samping hanya segelintir orang saja yang mempunyai alat dan aset produksi.
Mereka yang bekerja dengan sistem kontrak tidak akan bisa menuntut masa depan
yang lebih baik, soalnya sudah sepakat haknya diukur oleh gaji yang sudah
mereka tanda tangani, entah gaji itu cukup entah tidak. Ini dibuat agar
efisien, tenaga kerja sudah dianggap murah. Bahkan jika kita pikir, ini lebih
parah dari sistem perbudakan jaman dulu," kata Sprokov dengan sabar
menjelaskan pandangannya.
"Lho
kenapa bisa lebih parah dari sistem perbudakan?" tanya Lomov kaget.
"Jelas
lah! Meski sistem perbudakan pada jaman dulu kelihatan keras, toh pemilik budak
masih bertanggung jawab atas kelangsungan hidup si budak yang telah dibelinya.
Pemilik budak wajib memberi makanan yang layak, tempat tinggal yang layak,
mengobati jika budaknya sakit, dan menikahkan budaknya. Bahkan pemilik budak
wajib menjaga kehormatan budak-budaknya dan membela nasib mereka dari kekerasan
pihak lain."
"Sementara
buruh, semua haknya sudah terikat didalam upahnya," imbuh Sprokov
membeberkan alasan,"Juragan tidak wajib memenuhi kebutuhan makan, tempat
tinggal, kesehatan, dan pernikahan buruhnya. Kewajiban juragan Cuma satu:
membayar upah! Apakah upah itu cukup untuk makan, menyewa rumah, berobat ke
rumah sakit, atau menikah bukanlah urusan juragan. Bahkan jika buruh dianiaya,
disiksa, dizhalimi orang dalam tindak kriminal bukanlah urusan majikan."
Suasana sore itu berubah menjadi tambahan pengetahuan bagi
Lomov. Semula ia menganggap nasib para buruh itu lebih bagus daripada tukang
gali sumur, tapi sekarang ini ia justru prihatin kepada mereka yang bekerja
sebagai buruh yang ternyata nasibnya lebih buruk dibanding budak.
Suasana semakin sore, mega yang menghiasi langit dan
merubahnya menjadi jingga di langit barat.
"Sudah
jangan dipikir, ini sudah menjelang maghrib, kita siap-siap mencari makanan
untuk berbuka puasa," Sprokov tersenyum manis dengan pandangan bijak
bijak.
"Emh
iya," sahut Lomov lirih,"Tapi sebentar. Aku benar-benar masih
kepikiran untuk membandingkan kedudukan buruh dan budak."
0 komentar:
Posting Komentar