OMBAK
YANG TAK TERDENGAR
Seperti
Beethoven disaat mengatur nada dalam simfoninya, aransemen magis dari seni
lantunan lagu yang menjadi karya yang tak tergantikan. Tapi dia tak bisa mendengar, semua tak ada nada disekitarnya, kepercayaan diri
dari tuntunan semesta. Nada yang hanya terlihat dari gerak manusia, gerak
kehidupan dan gerak cinta.
Seperti
aku saat ini, meski aku membuka mata tetapi tetap gelap, tetap tak terlihat.
Aku butuh lilin, aku butuh lampu ataupun aku butuh bintang. Tak ada suara juga,
bagaimana aku mendengar jika hanya gelap yang terlihat? Bagaimana aku melihat,
jika tak ada nada yang terdengar. Ini bukan malam, ini bukan dalam penjara bagi
tahanan yang tak ada lagi ampunan. Aku dimana? Aku dimana? Aku berada dimana
sekarang? Ada cahaya datang…
Pagi
ini aku berada dipinggiran pantai yang indah, hari pertama setelah kemarin
malam datang untuk melepas semua kesibukan yang membekukan otak. Sembari menghisap
rokok dan menyanyi kecil, nadanya mulai membuatku melamun.
“Kita
pulang kapan?” Tanya nizal
“Santai
aja dulu ya, besok atau lusa. Persediaannya masih banyak khan?” Aku menjawab
pertanyaannya yang kagetkanku
“Widya,
Nabo dan Bara gimana?” Imbuhku
“mereka
sih ikut aja, yang penting bisa beristirahat” Jawabnya
Kulempar
pandangan lagi ke laut, kutelusuri karang yang
berbentuk dan tak beraturan. Tajam sehingga bisa membekas di pinggang
ini. Jadi teringat…
“Ayo
masak” Ajak Nabo
Sontak
saja buyarkan lamunanku dengan suara dari gadis kecil yang selalu bernada
menjengkelkan, itu Nabo.
“udah
lapar tah?” Sahutku
“Udah,
ini perut engga boleh telat makan” Sahut Widya yang punya sakit lambung seperti
Nizal
“Bara
mana?” Tanyaku
“Engga
tahu tuh masih tidur. Cipruuuutttt….” Panggil Nabo dengan nada khasnya
“Ayo!
Ayo! Cepet masak, biar ntar bisa nikmatin suasana” ujar Nizal yang biasa ku
panggil Paman
“Ayo
Man!” aku toleh karang dibawah tebing itu
Akhirnya
kita memulai memasak, bercanda ala kungfu chef diacara TV. Paman memang jago
masak, dia spesialis dapur untuk setiap acara camp kami. Aku hanya bisa mencari kayu, membawakan tas carier
teman yang sudah kelelahan. Kata teman-teman memang aku mempunyai tenaga ekstra
untuk hal-hal yang berat, kecuali tentang masa kelamku yang tak bisa aku
jinjing, karena aku selalu lemah.
Masakan
sudah jadi, seperti biasanya menu yang kita masak. Ada sarden, mie instan dan
beberapa sayuran. Kopi, susu dan teh sudah menjadi minuman hangat pengantar
pagi, malam dan selalu menjadi pilihan. Tak ada kegiatan khusus dalam camp
kami, kecintaan kepada alam sudah melekat tanpa kita program. Seperti halnya
menjaga kelestarian hutan, keseimbangan ekosistem atau apapun yang bertemakan
go green.
“Cipruuuutt,,
bangun! Makannya udah jadi lhoo. Nabooocil udah masakin buat kamu” Manja Nabo
“Bangun
Bara! Udah masak ini semuanya” Sambung Widya
“Tapi
Paman yang masak, bukan Nabo. Hahaha” Imbuhnya
Kemudian
Bara membuka resleting tenda dan keluar, badan kering tak berdaging sudah
menjadi ciri khasnya.
“Nabooo
berisiiik ah! Engga tahu tadi malem begadang. Lagian kamu kenapa tadi malam
ngajak tidur dipinggir pantai” Ungkapnya
Memang
tadi malam Nabo sama Bara terhegemoni yang namanya cinta, entah apa yang mereka
bicarakan bersama malam, dan apa yang mereka ikrarkan kepada bintang tentang
janji kehidupan. Cinta, kenapa aku masih melekat dengan romansa nostalgia Seha.
Bagaimana kabarnya dia hari ini? Dia bermain dengan siapa Tuhan? Butir air mata
ini menetes.
“Heh!
Kenapa kamu? Dari tadi melamun terus?” Nizal bertanya
“Iya
kenapa kamu?” Respon Widya
“Engga
apa-apa kok, cuman kemasukan pasir aja” sangkalku
“Ah
yang bener?” selidik Nizal
“Iya
bener, perih ini mata” Alasanku
“Ini
kasi air” Bara yang berada dibelakangku mencoba member botol yang berisi air
“Badan
besar kaya mesin tempur nangisan” tambahnya
“Halah,
buat kamu aja airnya, cuci muka dulu sana” alihku
“Iyaaa
cipruuut bauuuk” sahut Nabo
“Meski
Bau kamu ya tetep suka” Bara tak mau kalah
“Enggaaa
mauuuu” ledek Nabo
“Hahahahahahahah”
semua tertawa akibat ulah mereka
Tetapi
aku semakin teringat Seha yang manja, yang selalu rebahkan kepalanya di lengan
ini. Manja yang membuka hati ingin segera menikahinya. Tapi tak tahu bagaimana
hari setelah itu berlanjut, merangkap dosa karena aku tak lagi sanggup.
“Maafkan
aku Tuhan… Maafkan aku Seha” batinku
Lagi-lagi
air mata ini menggenang tak terbendung oleh kegembiraan yang ada hari ini.
“sudahlah,
makan dulu le” Ucap Nizal seakan tahu
Seakan
berada direstoran dengan keluarga besar, kita semua mesra seperti sedarah.
Paman dan Widya saling suap, Nabo dan Bara sepring berdua. Aku seakan menonton
adegan opera di Paris dengan setting pantai dan rumbai pohon kelapa. Iya, aku
penonton yang setia setelah kejadian itu, setelah purnama malam esok harinya
saat itu. Tuhan, lagi apa dia hari ini?
Acara
sarapan yang berada dijam makan siang sudah berakhir. Beberapa teman
membersihkan dapur yang sudah saya bangun sebelumnya, Nizal mencuci pring dan
peralatan lainnya. Aku melihat nabo dan Bara sedang berkejar-kejaran dipinggir
pantai, memang mereka tak tahu bahwa siang ini terik sekali, kering seperti
raga ini yang tak terisi. Aku masih belum bisa lupa, apalagi aku sekarang
berada di bawah langit kenangan.
“kamu
mikir apa lagi le” Tanya Nizal dengan menenteng piring dan sendok
“engga
ada apa-apa man”
“lagi
santai ini” Imbuhku
“santai
kok kosong” jelasnya
Iya
benar kosong, apa Nizal tahu semua. Paham atas apa hati ini sebenarnya,
mengerti bagaimana rindu ini bertingkah. Otot badan kelihatan tak menjadi arti
lagi bahwa aku ini sebenarnya lemah. Lemah diantara orang munafik yang tak mau
jujur dengan keadaan, yang masih berdiri diatas sumpah yang sepatutnya aku
kremasi bersama letih. Aku selalu mengeluh kepada Tuhan, mengeluh tentang
kemlekatan. Kemudian aku duduk tertundunk menatap pasir putih dengan banyak
cangkang keong yang sudah ditinggal penghuninya. Seakan ikut berbicara bahwa
banyak juga yang seperti aku, seperti jiwaku yang seharusnya malu dengan keong
laut yang sudah terlebih dahulu pergi mencari cangkang yang lebih kuat, yang
lebih berarti lagi bagi hidupnya. Itu mereka, bukan aku! Tapi aku hanya duduk
dengan tetsan air yang memujlai deras, atau mungkin kran bocor yang telah Tuhan
atur untuk aku. Tuhan mengatur? Kenapa mengatur hidupku seperti ini? Seperti
patung? Itu Tuhan? Maha member keindahan? Apa ini indah? Kata siapa ini indah?
Kenapa aku berfikir seakan Tuhan tak adil? Dimana ImanKu.
Dengan
banyak pertanyaan yang timbul, tak sedikit juga air mata yang mengalir. Aku
masih terdiam memandang pasir dengan cangkang keong yang tak berpenghuni.
“hilangkan
kemlekatan itu”
Suara
Nizal yang berjalan membawa kayu bakar kagetkan lamunanku. Apa benar ini
kemlekatan? Kemlekatan tentang apa? Aku butuh waktu untuk mencari tahu, apa aku
harus lupa? Harus melupakan bahwa aku pernah bersamanya? Bersama senyum yang
sudah tak lagi ada, dengan rebahan kepala dilengan yang tak kunjung tiba. Aku
ingin ada rantai hari ini, melilit dileherku hingga aku tak kuat.
“Nyonya
dimana?” Nizal panggil Widya
“Tenda,
aku ngantuk” sahutnya
“kok
malah tidur sih” kesal Nizal
“salah
siapa tadi malam suruh begadang ngerokin kamu, jadinya ngantuk ini lho” Widya
protes
“yawis
istirahat kalo gitu” suruh Nizal
Memang
Nizal tadi malam masuk angin, padahal udara Pantai Goa Cina tak sedingin Ranu
Kumbolo atau lereng gunung, mungkin dikarenakan dihari sebelumnya dia kecapekan
mengerjakan deadline design buat acara kampus.
Aku
masih belum beranjak dan terbangun, aku capai, aku lelah, menuntut jiwa ini
untuk bersatu. Atau seperti ungkapan idolaku Ivan Scumbag, bahwa jiwaku terperangkap dalam sekam dan tak
pernah lepas. Sekam yang sulit untuk dilewati, pasti terus terlilit dan
lembab. Vakum tak ada udara dan terus tertekan didalam. Aku tak bisa diam,
diam-pun aku memikirkan. Apa kabarmu Seha?
Kemudian
aku bangkin dari dudukku, berdiri tegap memandang karang dibawah bukit itu.
Kemudian tertegun dengan warna merah. Sepertinya aku kenal dia. Wanita berambut
panjang memakai gaun berwarna merah, gaun yang tak asing lagi buatku. Sadarkan
bahwa wanita itu adalah sosok yang kurindu, raga yang aku kenal selama ini.
Ternyata aku tak lupa, aku masih bisa mencium wanginya dari jauh, wangi jasmine
yang biasa aku cium jika berdekatan dan berpelukan. Benar, tak bisa diragukan
lagi akan hadirnya, dia Seha. Kekasihku selama ini yang aku rindukan
kehadiranyya. Sinar sudah tak pulih, ini senja dengan mega berwarna jingga
dilangit mempertontonkan dia. Kilat senyumnya bisa tergambar dalam kegirangan
hati ini lagi.
Angin
menghempas rambutnya, terurai indah mengikuti alur angin sore ini. Hati ini
meyakinkan bahwa itu benar-benar kau Seha. Kenapa kau berdiri disitu? Tak mau
lagi kah kamu berada didekatku ini, apa mugnkin aku yang salah telah
membiarkanmu pergi? Membiarkanmu terbang sendiri tanpa ada aku, kenapa kau
berada disitu sore ini?. Sapalah aku, kemarilah untuk tuntaskan rindu yang
selama ini tak bertemu, buat rindu ini menjadi satu, menjadi senjaku dan
senjamu.
Kakiku
tergerak kesana, beberapa meter jauh ditempatku berdiri saat ini. Tergerak kaki
ini untuk melangkah, bahwasanya aku tidak ingin karena aku tahu. Tetapi seperti
kutub magnet mencari besi menarikku,
terus aku berangkat. Disitu aku berlari berusaha cepat sampai, cepat
memeluknya dengan rindu yang tak bisa berkata.
Setibanya aku terharu dengan merah yang merona, dia
semakin cantik. Benar sekali dia adalah Seha, kekasih yang selalu kurindu. Tanpa
terencana air mata ini mengalir.
“Sayang... ini kau?” Sapaku rindu
“Iya, Sayang” Jawabnya
“Kemana kau sejauh ini?” Tanyaku lagi
“Tidak kemana-kemana, aku masih ada” Imbuhnya
“Aku rindu, aku kangen. Aku kangen kamu sayang” Tatapku
Kemudian aku peluk dia, kupeluk erat sekali. Mungkin seperti
Odisius yang merindukan istrinya setelah puluhan tahun berlayar. Sepertinya rasio
ini lupa jika dia punya sakit ashma. Pelukan hangat untuknya karena aku merasa
saat itu dingin, senja hari itu dingin dengan sedikit matahari yang mulai
mengantuk untuk sinari pulau ini.
“Aku kamu Seha” Ucapku lagi
“Iya aku tahu” dingin dia jawab
“Kenapa kamu sayang? Ada apa denganmu?” Tanyaku
“Aku engga kenapa-kenapa” singkatnya
Kupegang kedua pipinya, aku tatap.
“Kenapa kamu sayang? Cerita! Ayo cerita!” suruhku
“Tak ada yang harus aku ceritakan lagi” jawabnya
“Kenapa denganmu sayang?” Aku menangis
Tatapannya datar saat itu, seperti seismometer pengukur
gempa, gambarkan garis yang lurus tanpa ada getaran. Apa dia sudah tak rindu
denganku hingga pertemuan ini seakan bukan nostalgia epic yunani? Ada apa
dengan dirimu?
“tolong jawab sayang?” mohonku
“Apa yang harus saya jawab? Tak ada jawaban lagi” Tetap
dengan nadanya yang monoton
Aku sungguh menjadi takut, aku yang tak ingin suasana
berubah ikuti alurnya. Aku tak akan memaksanya untuk menjawab, mengalah untuk
berdua dengannya saja tanpa adanya paksaan baginya dengan menjawab pertanyaan
ini. Kulepas pelukan dan kugenggam tangannya.
“aku senang kamu datang”
“ternyata kamu masih sayang”
“ternyata kamu tepati janji ini” ucapku runtut
Seingatku dia berjanji akan datang kesini lagi. Dia
berkata kapanpun jika aku datang kesini lagi, dia bakal tahu. Dia bakal
mengerti jika aku sudah di tempat ini lagi. Ternyata dia benar-benar tahu dan
menepati janjinya.
“terima kasih ya sayang” pujiku
“Terima kasih juga” jawabnya
“buat?” tanyaku
“kamu sudah mau datang kesini”
“kamu masih ingat karang itu?” dia menunjuk keindahan
“Masih” singkatku
“kita kesana lagi yuk” ajakan dengan nada mulai santai
Kemudian kita berdua turun dari batu karang yang kita
pijak saat ini. Mencoba ceburkan diri, membelah ombak bersama untuk sampai di
keindahan karang itu.
“dia bersama siapa?” tanya Nizal kepada Widya
“mana?” tanya balik
“Itu! Disana! Dikarang-karang itu” tunjuk Nizal
“sepertinya dia seperti menggandeng sesuatu” selidik
Widya
“tapi siapa? Apa? Tak ada!” konsen Widya
Akhirnya kita berhasil memecah lautan, meraih karang yang
licin berlumut dan berganggang. Kulihat ombak yang mulai besar, mulai bisa
hantam tebing yang terdiam.
“kita sudah sampai sayang” senyumku mesra
“iya, seperti dulu” jawab seha
Memang suasananya tak jauh beda dengan dulu, ketika kita
berdua disini. Saat itu aku melamarnya, dengan cincin yang kubeli hasil
tabunganku. Aku sangat senang hari ini, seperti terhipnotis oleh hermes dewa
pembawa pesan, mungkin ini pesan dari Tuhan.
“Ada yang tidak beres” lihat Nizal dari kejauhan
“Apanya yang tak beres dear?” sahut Widya
“Oh tidak!” kemudian Nizal berlari kearahku
Hingga ini terjadi
“Sayang” kemudian Seha melompat menarikku
Aku ditariknya
kemudian terjatuh kelaut, kita berdua nyebur kelaut. Sontak aku kaget, begitupun
ombak menggilas kita tanpa ampun. Saat itu langit tak ada, semua menjadi air. Menjadikan
kita basah, ada apa ini semua? Sadarkan aku hingga logika ini kembali menyala. Mataku
terbuka tetapi buta akhirnya bisa melihat kenyataan, melihat berita yang
sebenarnya.
Bergulat dengan ombak itu tak mudah, dimana Seha yang
tadi menarikku? Air sudah masuk ke telinga, air garam menyapa selaput mata. Perih
dan tak terdengar lagi, bagaimana seharusnya nada ombakpun sudah tak berirama,
seperti kalian menekan tombol Mute di remote Tv. Aku dimana saat ini? Kenapa gelap?
Kenapa tak bersuara? Seperti aku saat ini,
meski aku membuka mata tetapi tetap gelap, tetap tak terlihat. Aku butuh lilin,
aku butuh lampu ataupun aku butuh bintang. Tak ada suara juga, bagaimana aku
mendengar jika hanya gelap yang terlihat? Bagaimana aku melihat, jika tak ada
nada yang terdengar. Ini bukan malam, ini bukan dalam penjara bagi tahanan yang
tak ada lagi ampunan.
“Sehaaaaaaaaaaaa...” teriakku bersama gelembung oksigen
yang terakhir
Lama, seperti menunggu terangnya hujan yang deras, atau
mengaharapkan bintang dikala malam yang mendung. Aku dimana? Aku dimana? Aku berada dimana sekarang? Ada cahaya
datang… Ada cahaya...
“Ganang! Ganang! Bangun!” teriak Nizal khawatir
“Bangun Ganang, Jangan mati!” Usaha Nizal dengan
menampar-nampar wajahku
Suara Nizal berangsur membesar. Semula tak ada suara,
semula sunyi lambat laun terdengar. Kumuntahkan air yang ada dalam tubuh ini,
aku terbatuk muntahkan.
“Bangun le! Bangun Ganang!” khawatir Nizal ketika aku
berhasil membuka mata ini, kemudian kagetkanku.
“dimana Seha? Dimana? Dimana Man?” Tanyaku bertubi
“Sudah tak ada” Singkat Nizal
“tak ada dimana? Kemana dia?” kutoleh sekitar hingga aku
coba berdiri
“tunggu le! Tunggu! Dengarkan aku!” Genggaman tangan
Nizal sontak aku tangkis, aku berdiri mencari Seha dimana keberadaannya. Nizal
susul lariku dan berhasil jatuhkanku.
Plaaaaaak! Plaaaaaaak! Tamparan keras memerah dipipiku.
“sadar kamu! Sadarlah Nang! Bangun! Sadar!” Marah Nizal
Nafasku ini terengah, membuka pikiran ada apa sebenarnya.
“tahukah kamu siapa tadi yang bersamamu?” Tanya Nizal
“Seha! Seha khan?” teriakku
“Iya benar! Seha! Arwah Seha” kesal dia sembari berada
diatas tindiha badan ini
“Dimana otakmu? Dimana kesadaranmu? Sampai kapan kamu
begini Ganang!?” Tanyanya
“Kapan akan kau terima jika Seha sudah tak ada! Jika Seha
sudah mati!” Tutur Nizal tak berjeda
Kemudian aku tatap langit ini yang mulai gelap, mulai
berbintang yang mencoba bersinar. Selanjutnya aku benar-benar sadar bahwa Seha
sudah tak ada di dunia ini. Dia sudah meninggal tujuh bulan yang lalu, ditempat
ini. Dia terpeleset tenggelam setelah kita bermain dikarang itu, dikarang tadi
tempat aku bertemu dengan Seha. Bertemu dengan
arwahnya yang menyambutku hari ini. Saat itu aku tidak bisa menolongnya untuk
kembali kedaratan, aku juga tenggelam. Terakhir ku ingat hanya gelap yang
berair, tak ada suara. Bahkan ombakpun menjadi ombak yang tak terdengar.
0 komentar:
Posting Komentar