Minggu, 17 Juni 2012

Ombak Yang Tak Terdengar

-->
OMBAK YANG TAK TERDENGAR

Seperti Beethoven disaat mengatur nada dalam simfoninya, aransemen magis dari seni lantunan lagu yang menjadi karya yang tak tergantikan.  Tapi dia tak bisa mendengar, semua  tak ada nada disekitarnya, kepercayaan diri dari tuntunan semesta. Nada yang hanya terlihat dari gerak manusia, gerak kehidupan dan gerak cinta.
Seperti aku saat ini, meski aku membuka mata tetapi tetap gelap, tetap tak terlihat. Aku butuh lilin, aku butuh lampu ataupun aku butuh bintang. Tak ada suara juga, bagaimana aku mendengar jika hanya gelap yang terlihat? Bagaimana aku melihat, jika tak ada nada yang terdengar. Ini bukan malam, ini bukan dalam penjara bagi tahanan yang tak ada lagi ampunan. Aku dimana? Aku dimana? Aku berada dimana sekarang? Ada cahaya datang…
Pagi ini aku berada dipinggiran pantai yang indah, hari pertama setelah kemarin malam datang untuk melepas semua kesibukan yang membekukan otak. Sembari menghisap rokok dan menyanyi kecil, nadanya mulai membuatku melamun.
“Kita pulang kapan?” Tanya nizal
“Santai aja dulu ya, besok atau lusa. Persediaannya masih banyak khan?” Aku menjawab pertanyaannya yang kagetkanku
“Widya, Nabo dan Bara gimana?” Imbuhku
“mereka sih ikut aja, yang penting bisa beristirahat” Jawabnya
Kulempar pandangan lagi ke laut, kutelusuri karang yang  berbentuk dan tak beraturan. Tajam sehingga bisa membekas di pinggang ini. Jadi teringat…
“Ayo masak” Ajak Nabo
Sontak saja buyarkan lamunanku dengan suara dari gadis kecil yang selalu bernada menjengkelkan, itu Nabo.
“udah lapar tah?” Sahutku
“Udah, ini perut engga boleh telat makan” Sahut Widya yang punya sakit lambung seperti Nizal
“Bara mana?” Tanyaku
“Engga tahu tuh masih tidur. Cipruuuutttt….” Panggil Nabo dengan nada khasnya
“Ayo! Ayo! Cepet masak, biar ntar bisa nikmatin suasana” ujar Nizal yang biasa ku panggil Paman
“Ayo Man!” aku toleh karang dibawah tebing itu
Akhirnya kita memulai memasak, bercanda ala kungfu chef diacara TV. Paman memang jago masak, dia spesialis dapur untuk setiap acara camp kami. Aku hanya  bisa mencari kayu, membawakan tas carier teman yang sudah kelelahan. Kata teman-teman memang aku mempunyai tenaga ekstra untuk hal-hal yang berat, kecuali tentang masa kelamku yang tak bisa aku jinjing, karena aku selalu lemah.
Masakan sudah jadi, seperti biasanya menu yang kita masak. Ada sarden, mie instan dan beberapa sayuran. Kopi, susu dan teh sudah menjadi minuman hangat pengantar pagi, malam dan selalu menjadi pilihan. Tak ada kegiatan khusus dalam camp kami, kecintaan kepada alam sudah melekat tanpa kita program. Seperti halnya menjaga kelestarian hutan, keseimbangan ekosistem atau apapun yang bertemakan go green.
“Cipruuuutt,, bangun! Makannya udah jadi lhoo. Nabooocil udah masakin buat kamu” Manja Nabo
“Bangun Bara! Udah masak ini semuanya” Sambung Widya
“Tapi Paman yang masak, bukan Nabo. Hahaha” Imbuhnya
Kemudian Bara membuka resleting tenda dan keluar, badan kering tak berdaging sudah menjadi ciri khasnya.
“Nabooo berisiiik ah! Engga tahu tadi malem begadang. Lagian kamu kenapa tadi malam ngajak tidur dipinggir pantai” Ungkapnya
Memang tadi malam Nabo sama Bara terhegemoni yang namanya cinta, entah apa yang mereka bicarakan bersama malam, dan apa yang mereka ikrarkan kepada bintang tentang janji kehidupan. Cinta, kenapa aku masih melekat dengan romansa nostalgia Seha. Bagaimana kabarnya dia hari ini? Dia bermain dengan siapa Tuhan? Butir air mata ini menetes.
“Heh! Kenapa kamu? Dari tadi melamun terus?” Nizal bertanya
“Iya kenapa kamu?” Respon Widya
“Engga apa-apa kok, cuman kemasukan pasir aja” sangkalku
“Ah yang bener?” selidik Nizal
“Iya bener, perih ini mata” Alasanku
“Ini kasi air” Bara yang berada dibelakangku mencoba member botol yang berisi air
“Badan besar kaya mesin tempur nangisan” tambahnya
“Halah, buat kamu aja airnya, cuci muka dulu sana” alihku
“Iyaaa cipruuut bauuuk” sahut Nabo
“Meski Bau kamu ya tetep suka” Bara tak mau kalah
“Enggaaa mauuuu” ledek Nabo
“Hahahahahahahah” semua tertawa akibat ulah mereka
Tetapi aku semakin teringat Seha yang manja, yang selalu rebahkan kepalanya di lengan ini. Manja yang membuka hati ingin segera menikahinya. Tapi tak tahu bagaimana hari setelah itu berlanjut, merangkap dosa karena aku tak lagi sanggup.
“Maafkan aku Tuhan… Maafkan aku Seha” batinku
Lagi-lagi air mata ini menggenang tak terbendung oleh kegembiraan yang ada hari ini.
“sudahlah, makan dulu le” Ucap Nizal seakan tahu
Seakan berada direstoran dengan keluarga besar, kita semua mesra seperti sedarah. Paman dan Widya saling suap, Nabo dan Bara sepring berdua. Aku seakan menonton adegan opera di Paris dengan setting pantai dan rumbai pohon kelapa. Iya, aku penonton yang setia setelah kejadian itu, setelah purnama malam esok harinya saat itu. Tuhan, lagi apa dia hari ini?
Acara sarapan yang berada dijam makan siang sudah berakhir. Beberapa teman membersihkan dapur yang sudah saya bangun sebelumnya, Nizal mencuci pring dan peralatan lainnya. Aku melihat nabo dan Bara sedang berkejar-kejaran dipinggir pantai, memang mereka tak tahu bahwa siang ini terik sekali, kering seperti raga ini yang tak terisi. Aku masih belum bisa lupa, apalagi aku sekarang berada di bawah langit kenangan.
“kamu mikir apa lagi le” Tanya Nizal dengan menenteng piring dan sendok
“engga ada apa-apa man”
“lagi santai ini” Imbuhku
“santai kok kosong” jelasnya
Iya benar kosong, apa Nizal tahu semua. Paham atas apa hati ini sebenarnya, mengerti bagaimana rindu ini bertingkah. Otot badan kelihatan tak menjadi arti lagi bahwa aku ini sebenarnya lemah. Lemah diantara orang munafik yang tak mau jujur dengan keadaan, yang masih berdiri diatas sumpah yang sepatutnya aku kremasi bersama letih. Aku selalu mengeluh kepada Tuhan, mengeluh tentang kemlekatan. Kemudian aku duduk tertundunk menatap pasir putih dengan banyak cangkang keong yang sudah ditinggal penghuninya. Seakan ikut berbicara bahwa banyak juga yang seperti aku, seperti jiwaku yang seharusnya malu dengan keong laut yang sudah terlebih dahulu pergi mencari cangkang yang lebih kuat, yang lebih berarti lagi bagi hidupnya. Itu mereka, bukan aku! Tapi aku hanya duduk dengan tetsan air yang memujlai deras, atau mungkin kran bocor yang telah Tuhan atur untuk aku. Tuhan mengatur? Kenapa mengatur hidupku seperti ini? Seperti patung? Itu Tuhan? Maha member keindahan? Apa ini indah? Kata siapa ini indah? Kenapa aku berfikir seakan Tuhan tak adil? Dimana ImanKu.
Dengan banyak pertanyaan yang timbul, tak sedikit juga air mata yang mengalir. Aku masih terdiam memandang pasir dengan cangkang keong yang tak berpenghuni.
“hilangkan kemlekatan itu”
Suara Nizal yang berjalan membawa kayu bakar kagetkan lamunanku. Apa benar ini kemlekatan? Kemlekatan tentang apa? Aku butuh waktu untuk mencari tahu, apa aku harus lupa? Harus melupakan bahwa aku pernah bersamanya? Bersama senyum yang sudah tak lagi ada, dengan rebahan kepala dilengan yang tak kunjung tiba. Aku ingin ada rantai hari ini, melilit dileherku hingga aku tak kuat.
“Nyonya dimana?” Nizal panggil Widya
“Tenda, aku ngantuk” sahutnya
“kok malah tidur sih” kesal Nizal
“salah siapa tadi malam suruh begadang ngerokin kamu, jadinya ngantuk ini lho” Widya protes
“yawis istirahat kalo gitu” suruh Nizal
Memang Nizal tadi malam masuk angin, padahal udara Pantai Goa Cina tak sedingin Ranu Kumbolo atau lereng gunung, mungkin dikarenakan dihari sebelumnya dia kecapekan mengerjakan deadline design buat acara kampus.
Aku masih belum beranjak dan terbangun, aku capai, aku lelah, menuntut jiwa ini untuk bersatu. Atau seperti ungkapan idolaku Ivan Scumbag, bahwa jiwaku terperangkap dalam sekam dan tak pernah lepas. Sekam yang sulit untuk dilewati, pasti terus terlilit dan lembab. Vakum tak ada udara dan terus tertekan didalam. Aku tak bisa diam, diam-pun aku memikirkan. Apa kabarmu Seha?
Kemudian aku bangkin dari dudukku, berdiri tegap memandang karang dibawah bukit itu. Kemudian tertegun dengan warna merah. Sepertinya aku kenal dia. Wanita berambut panjang memakai gaun berwarna merah, gaun yang tak asing lagi buatku. Sadarkan bahwa wanita itu adalah sosok yang kurindu, raga yang aku kenal selama ini. Ternyata aku tak lupa, aku masih bisa mencium wanginya dari jauh, wangi jasmine yang biasa aku cium jika berdekatan dan berpelukan. Benar, tak bisa diragukan lagi akan hadirnya, dia Seha. Kekasihku selama ini yang aku rindukan kehadiranyya. Sinar sudah tak pulih, ini senja dengan mega berwarna jingga dilangit mempertontonkan dia. Kilat senyumnya bisa tergambar dalam kegirangan hati ini lagi.
Angin menghempas rambutnya, terurai indah mengikuti alur angin sore ini. Hati ini meyakinkan bahwa itu benar-benar kau Seha. Kenapa kau berdiri disitu? Tak mau lagi kah kamu berada didekatku ini, apa mugnkin aku yang salah telah membiarkanmu pergi? Membiarkanmu terbang sendiri tanpa ada aku, kenapa kau berada disitu sore ini?. Sapalah aku, kemarilah untuk tuntaskan rindu yang selama ini tak bertemu, buat rindu ini menjadi satu, menjadi senjaku dan senjamu.
Kakiku tergerak kesana, beberapa meter jauh ditempatku berdiri saat ini. Tergerak kaki ini untuk melangkah, bahwasanya aku tidak ingin karena aku tahu. Tetapi seperti kutub magnet mencari besi menarikku, terus aku berangkat. Disitu aku berlari berusaha cepat sampai, cepat memeluknya dengan rindu yang tak bisa berkata.
Setibanya aku terharu dengan merah yang merona, dia semakin cantik. Benar sekali dia adalah Seha, kekasih yang selalu kurindu. Tanpa terencana air mata ini mengalir.
“Sayang... ini kau?” Sapaku rindu
“Iya, Sayang” Jawabnya
“Kemana kau sejauh ini?” Tanyaku lagi
“Tidak kemana-kemana, aku masih ada” Imbuhnya
“Aku rindu, aku kangen. Aku kangen kamu sayang” Tatapku
Kemudian aku peluk dia, kupeluk erat sekali. Mungkin seperti Odisius yang merindukan istrinya setelah puluhan tahun berlayar. Sepertinya rasio ini lupa jika dia punya sakit ashma. Pelukan hangat untuknya karena aku merasa saat itu dingin, senja hari itu dingin dengan sedikit matahari yang mulai mengantuk untuk sinari pulau ini.
“Aku kamu Seha” Ucapku lagi
“Iya aku tahu” dingin dia jawab
“Kenapa kamu sayang? Ada apa denganmu?” Tanyaku
“Aku engga kenapa-kenapa” singkatnya
Kupegang kedua pipinya, aku tatap.
“Kenapa kamu sayang? Cerita! Ayo cerita!” suruhku
“Tak ada yang harus aku ceritakan lagi” jawabnya
“Kenapa denganmu sayang?” Aku menangis
Tatapannya datar saat itu, seperti seismometer pengukur gempa, gambarkan garis yang lurus tanpa ada getaran. Apa dia sudah tak rindu denganku hingga pertemuan ini seakan bukan nostalgia epic yunani? Ada apa dengan dirimu?
“tolong jawab sayang?” mohonku
“Apa yang harus saya jawab? Tak ada jawaban lagi” Tetap dengan nadanya yang monoton
Aku sungguh menjadi takut, aku yang tak ingin suasana berubah ikuti alurnya. Aku tak akan memaksanya untuk menjawab, mengalah untuk berdua dengannya saja tanpa adanya paksaan baginya dengan menjawab pertanyaan ini. Kulepas pelukan dan kugenggam tangannya.
“aku senang kamu datang”
“ternyata kamu masih sayang”
“ternyata kamu tepati janji ini” ucapku runtut
Seingatku dia berjanji akan datang kesini lagi. Dia berkata kapanpun jika aku datang kesini lagi, dia bakal tahu. Dia bakal mengerti jika aku sudah di tempat ini lagi. Ternyata dia benar-benar tahu dan menepati janjinya.
“terima kasih ya sayang” pujiku
“Terima kasih juga” jawabnya
“buat?” tanyaku
“kamu sudah mau datang kesini”
“kamu masih ingat karang itu?” dia menunjuk keindahan
“Masih” singkatku
“kita kesana lagi yuk” ajakan dengan nada mulai santai
Kemudian kita berdua turun dari batu karang yang kita pijak saat ini. Mencoba ceburkan diri, membelah ombak bersama untuk sampai di keindahan karang itu.
“dia bersama siapa?” tanya Nizal kepada Widya
“mana?” tanya balik
“Itu! Disana! Dikarang-karang itu” tunjuk Nizal
“sepertinya dia seperti menggandeng sesuatu” selidik Widya
“tapi siapa? Apa? Tak ada!” konsen Widya
Akhirnya kita berhasil memecah lautan, meraih karang yang licin berlumut dan berganggang. Kulihat ombak yang mulai besar, mulai bisa hantam tebing yang terdiam.
“kita sudah sampai sayang” senyumku mesra
“iya, seperti dulu” jawab seha
Memang suasananya tak jauh beda dengan dulu, ketika kita berdua disini. Saat itu aku melamarnya, dengan cincin yang kubeli hasil tabunganku. Aku sangat senang hari ini, seperti terhipnotis oleh hermes dewa pembawa pesan, mungkin ini pesan dari Tuhan.
“Ada yang tidak beres” lihat Nizal dari kejauhan
“Apanya yang tak beres dear?” sahut Widya
“Oh tidak!” kemudian Nizal berlari kearahku
Hingga ini terjadi
“Sayang” kemudian Seha melompat menarikku
 Aku ditariknya kemudian terjatuh kelaut, kita berdua nyebur kelaut. Sontak aku kaget, begitupun ombak menggilas kita tanpa ampun. Saat itu langit tak ada, semua menjadi air. Menjadikan kita basah, ada apa ini semua? Sadarkan aku hingga logika ini kembali menyala. Mataku terbuka tetapi buta akhirnya bisa melihat kenyataan, melihat berita yang sebenarnya.
Bergulat dengan ombak itu tak mudah, dimana Seha yang tadi menarikku? Air sudah masuk ke telinga, air garam menyapa selaput mata. Perih dan tak terdengar lagi, bagaimana seharusnya nada ombakpun sudah tak berirama, seperti kalian menekan tombol Mute di remote Tv. Aku dimana saat ini? Kenapa gelap? Kenapa tak bersuara? Seperti aku saat ini, meski aku membuka mata tetapi tetap gelap, tetap tak terlihat. Aku butuh lilin, aku butuh lampu ataupun aku butuh bintang. Tak ada suara juga, bagaimana aku mendengar jika hanya gelap yang terlihat? Bagaimana aku melihat, jika tak ada nada yang terdengar. Ini bukan malam, ini bukan dalam penjara bagi tahanan yang tak ada lagi ampunan.
“Sehaaaaaaaaaaaa...” teriakku bersama gelembung oksigen yang terakhir
Lama, seperti menunggu terangnya hujan yang deras, atau mengaharapkan bintang dikala malam yang mendung. Aku dimana? Aku dimana? Aku berada dimana sekarang? Ada cahaya datang… Ada cahaya...
“Ganang! Ganang! Bangun!” teriak Nizal khawatir
“Bangun Ganang, Jangan mati!” Usaha Nizal dengan menampar-nampar wajahku
Suara Nizal berangsur membesar. Semula tak ada suara, semula sunyi lambat laun terdengar. Kumuntahkan air yang ada dalam tubuh ini, aku terbatuk muntahkan.
“Bangun le! Bangun Ganang!” khawatir Nizal ketika aku berhasil membuka mata ini, kemudian kagetkanku.
“dimana Seha? Dimana? Dimana Man?” Tanyaku bertubi
“Sudah tak ada” Singkat Nizal
“tak ada dimana? Kemana dia?” kutoleh sekitar hingga aku coba berdiri
“tunggu le! Tunggu! Dengarkan aku!” Genggaman tangan Nizal sontak aku tangkis, aku berdiri mencari Seha dimana keberadaannya. Nizal susul lariku dan berhasil jatuhkanku.
Plaaaaaak! Plaaaaaaak! Tamparan keras memerah dipipiku.
“sadar kamu! Sadarlah Nang! Bangun! Sadar!” Marah Nizal
Nafasku ini terengah, membuka pikiran ada apa sebenarnya.
“tahukah kamu siapa tadi yang bersamamu?” Tanya Nizal
“Seha! Seha khan?” teriakku
“Iya benar! Seha! Arwah Seha” kesal dia sembari berada diatas tindiha badan ini
“Dimana otakmu? Dimana kesadaranmu? Sampai kapan kamu begini Ganang!?” Tanyanya
“Kapan akan kau terima jika Seha sudah tak ada! Jika Seha sudah mati!” Tutur Nizal tak berjeda
Kemudian aku tatap langit ini yang mulai gelap, mulai berbintang yang mencoba bersinar. Selanjutnya aku benar-benar sadar bahwa Seha sudah tak ada di dunia ini. Dia sudah meninggal tujuh bulan yang lalu, ditempat ini. Dia terpeleset tenggelam setelah kita bermain dikarang itu, dikarang tadi tempat aku  bertemu dengan Seha. Bertemu dengan arwahnya yang menyambutku hari ini. Saat itu aku tidak bisa menolongnya untuk kembali kedaratan, aku juga tenggelam. Terakhir ku ingat hanya gelap yang berair, tak ada suara. Bahkan ombakpun menjadi ombak yang tak terdengar.

0 komentar:

Posting Komentar