Bintang dan Lumba-lumba
“Kamu
bete?”
Sapaan itu sadarkan aku yang sekarang sedang menaiki
motor. Melamun kejadian mulai hari kemarin hingga berlarut sampai malam ini.
Berada diatas motor dengan membonceng seseorang. Ya! Seseorang siapa yang
berada dibelakangku ini.
Diatas motor ini masih teringat suasana sempu dikala
pagi, dikala senja sampai larutkan lamunan ke malam yang begitu dingin.
Kemarin pagi aku, dia dan beberapa teman sudah berkumpul
di lapangan parkir kampusku, fun camp yang dirancang menarik hingga akan lupa
bahwa minggu depan kita harus berhadapan dengan ujian akhir semester.
Mewajibkan diri ini untuk bersenang-senang, tertawa dan berteriak hilangkan
kepenatan. Hanya beberapa teman saja yang ikut serta. Ada Fadly, Mithun,
Yamani, Muniagara, Nabo, Widya, Saras dan aku. Yang dilihat oleh banyak orang
disekitar lapangan parkiran bahwa kita rombongan yang berpasangan. Tidak
mungkin, memang Fadly bertunangan dengan Saras, Yamani sudah berpacaran dengan
Mithun. Nabo si gadis kecil itu mantanku, namun sekarang dia lebih nyaman
berada dipelukan muniagara. Sedangkan aku sekarang bersama siapa, Widyaraga.
Dia gadis yang dulu membangunkan aku dari tidur panjang diatas pesakitan, dia
yang suruh aku move on dan memoles hati ini. Gadis yang sangat baik bagiku.
“Sudah siap?” Tanya Muniagara kesemua anak-anak
“Siap” jawab Yamani dan Nabo
“tunggu, aku masih pakai jaket” mithun membalas dengan tergesa-gesa
“sip” fadly mengacungkan jempol
“ayo
berdo’a dulu sebelum berangkat” suruh muniagara
Suasana
saat itu hening, khitmat dan begitu damai. Aku melihat Widyaraga menundukkan
kepalanya, saling menggenggam erat telapaknya berdo’a. suasana merah muda ada pada pagi itu, melihatnya berdo’a yang mungkin hanyutkan nyanyian Aphrodite yang sedang memetik harpha. Tak ada suara bising yang mengganggu panjatan do’anya. Sungguh momen yang langka bagiku karena kau tak pernah tahu disaat dia sedang berada di rumahnya ataupun di gereja. Hingga aku tutup mata ini untuk berdo’a juga, mendo’akannya juga untuk selalu dalam lindungan-Nya.
kepalanya, saling menggenggam erat telapaknya berdo’a. suasana merah muda ada pada pagi itu, melihatnya berdo’a yang mungkin hanyutkan nyanyian Aphrodite yang sedang memetik harpha. Tak ada suara bising yang mengganggu panjatan do’anya. Sungguh momen yang langka bagiku karena kau tak pernah tahu disaat dia sedang berada di rumahnya ataupun di gereja. Hingga aku tutup mata ini untuk berdo’a juga, mendo’akannya juga untuk selalu dalam lindungan-Nya.
“Bismillah”
bacaku dalam hati
Kumulai
nyalakan motor dan bersiap berangkat ke Pulau Sempu yang sudah kita semua
rencanakan.
“Kamu
kuat bawakan tas carrierku yang besar ini?” tanyaku
“Hmmmm….
Kayanya kuat, aku khan wanita yang kuat” Jawab Widyaraga
Wanita
Kuat? Kata-kata yang jarang sekali dia ucapkan. Setahuku dia selalu sedih
disaat sesi curhat kepadaku. Menceritakan laki-laki yang disukanya, cerita yang
membuat kuping ini gatal menolak suaranya. Ya! Karena aku memang tak suka
mendengar cerita tentang seseorang yang dia suka. Mungkin seperti gorilla yang
tertimpa iklan baliho yang sangat besar. Sakit dan beban.
“yawislah
kalau kuat, ntar kalau engga kuat bilang ya” nadaku lembut
“iya
iya pasti” jawabnya agak ketus
Motor
sudah panas dan siap berjalan. Hingga keluar dari kampusku suasana masih
sedikit mendung, khawatir disana akan hujan. Perjalanan dengan optimis bahwa
cuaca akan selalu mendukung perjalanan aku dan teman-teman semuanya. Hingga pos
pertama kita beristirahat, didepan PT. Pindad Turen, pabrik yang menghasilkan bahan-bahan perang yang asli
kepunyaan negaraku. Tapi miris militer Indonesia masih suka impor persenjataan
dari Negara asing.
“Capek?”
tanyaku
“engga,
sedikit pegel aja” Jawab Widyaraga
“Udah
ntar biar aku aja yang bawa, kamu bawa tas yang kecil aja” pintaku
“engga
usah. Engga usah, aku masih kuat kok” sedikit meninggi nadanya
“Istirahat
sebentar dulu ya rek” Muniagara menginfokan
“Ok”
Jawab Fadly
Hampir
setengah jam kita beristirahat, merokok, minum dan makan cemilan yang kita bawa
buat bekal.
“Aku
lagi dapet” Widyaraga bicara
“ha?”
heranku
“Iya
aku lagi dapet ini. Gimana dong?” takut dia
“nabo!
Sini” panggilku kepada nabo
“iya
apa apa apa apa?” jawabnya dengan sedikit ekspresi yang selalu buatku gemas
“Halah!
Kamu itu ngapain ae” ketusku
“Hahahahaha…
gemes ya?”
“ada
apa?” sambungnya
“Ini,
si Nyonya lagi dapet” kataku
“hahahahaha…
trus?”
“engga
apa-apa kok, aku lagi dapet juga. Hahaha” jawabnya santai
“kamu
itu selalu nyebelin. Sudah sana ajak dia beli pembalut terus ganti” suruhku
“udah
engga usah beli, aku udah bawa” potong Widyaraga
“Udah
aku siapin kok, aku sudah memprediksikan kalo bakal kaya gini” Sambungnya
Aku
melihatnya begitu ketakutan, mungkin sebelumnya dia tahu bahwa jika sedang
datang bulan tidak disarankan untuk pergi ke Pulau Sempu.
“udah
engga apa-apa, jangan khawatir engga bisa masuk Pulau itu. Insyaallah engga
bakal ada apa-apa kok” ku coba tenangkan dia.
Kemudian
dia bersama Nabo pergi mencari kamar mandi. Dan aku juga sempat khawatir kemana
mereka akan mencari tempat untuk bersih-bersih. Sudahlah, semoga mereka lekas
menemukan tempat.
“mau
kemana mereka Mas” Tanya Mithun
“itu
mbakmu bingung cari tempat buat bersih-bersih” jawabku
“Mbakku?
Siapa?”selidik dia
“Mbak
Widyaraga” jawabku lagi
“Mbak
dari mana? Atau….” Heran dia
Memang
Mithun gadis yang punya penyakit asma ini sudah aku anggap sebagai adikku
sendiri, kedekatan yang sudah seperti saudara kandung.
“Mas
suka sama Mbak Widyaraga?” Tanya dia
“Hmmmmmm…”
diamku
“Engga
apa-apa, ngomong aja. Toh pasti bakal adik restui, Mbak Widyaraga itu baik
kok”senyum dia
“udah-udah,
kamu masih kecil tahu apa!” sedikit malu aku menjawab pertanyaannya
“Cieeeee….
Masku sukaa Mbbb…..” segera aku sumpal mulutnya pakai tangan ini
“embbbb…”
Mithun kesulitan bicara
“jangan
sampai tahu anak-anak, aku malu” Bisikku
Suara
Mithun saat itu lantang tapi aku tahan, hingga semua teman-teman menolehkan
pandangannya ke kita.
“Heh!
Kalian itu ngapain aja” Tanya yamani
“kaya
mau memperkosa aja kamu itu” Sambung yamani kepadaku
“heehehehe…
ini lho Mithun ada-ada aja” sambil aku bekap mithun
“Tak
lepasin tapi janji engga usah bilang-bilang” bisikku
Akhirnya
Mithun mengangguk. Setelah aku lepaskan dia terus berlari ke Yamani, kemudian
berbalik terus mengejekku. Akhirnya dia membisikkan sesuatu ke Yamani. Aku tahu
dia bakal memberitahu Yamani.
“Kejar
terus Bro!” support Yamani
“Hehehehehe”
Bingungku dengan menggaruk-garukkan kepala
Beberapa
menit kemudian nabo dan Widyaraga kembali ketempat kita berkumpul dengan
menenteng tas kresek yang mungkin didalamnya ada celana dalam.
“udah
bersih?” tanyaku
“he’em”
singkatnya
Akhirnya
kita putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Suasana pedesaan Turen yang damai
jauh dari hingar- bingar kota malang. Diperjalanan suasana measih seperti
biasa, sedikit ajakan bicara dan masih focus dengan jalan yang sedikit
berlubang dan banyak tikungan tajam. Seperti membawa tanggung jawab besar
membonceng seorang putri untuk selalu tetap utuh hingga pulang.
Sekitar
dua jam perjalanan, kita sampai ke pantai sendang biru. Terlihat banyak
kapal-kapal pencari ikan, dengan banyak nelayan yang sedang melakukan
pekerjaannya. Suasana siang itu sangat panas. Hingga kulit sulit untuk kering
dari keringat.
“semuanya
istirahat dulu. Biar aku sama Muniagara mengurus administrasinya” kataku
“Iya
istirahat dulu, bokongku udah panas” jawab Nabo
Akhirnya
sekitar duapuluh menit aku dan Muniagara selesai mengurusi persyaratan dan
administrasi yang sedikit ribet. Kemudian semua motor kita parkir untuk
bermalam. Pulau Sempu harus kita labuh menyebrang dengan kapal perahu yang
disewakan oleh warga sekitar. Dan kita sudah memesan kapal yang kita telpon
sebelumnya.
Singkat
waktu kita sudah berada diatas kapal. Berharap Baruna Dewa laut sedang berada
dipihak kita, tak ada ombak yang nakal dan tak ada juga kapal perahu yang
terguling. Didalam hati semua berdo’a atas keselamatan.
“Ada
lumba-lumba” tunjuk Nabo
“Mana?”
Sahut widyaraga dan Saras
“itu
itu itu itu” tunjuk Nabo lagi dengan Nada sok imutnya
“Iya
Bagus” heran Saras
“Kok
ada lumba-lumba disini ya?” imbuhnya
“ini
khan samudera sayang. Memang aku hadirkan lumba-lumba ini untukmu” gombal Fadly
“Nah,
sudah saya bilang khan kalo mulutnya licin?” olokku ke Fadly
“hahahaha”
satu kapal tertawa
“Lumba-lumbanya
bagus ya?” bicara Widyaraga kepadaku
“Iya,
melambangkan kedamaian dan rasa cinta” jawabku
“apa
benar?” selidik Widyaraga
“Iya
memang benar. Banyak semiotika untuk hewan”
“aku
kasih contoh” terangku
Harimau melambangkan kegigihan dan keberanian
dalam bertempur dan kekuatan seorang pria. Dalam militer, harimau biasanya
adalah simbol kedua tertinggi setelah simbol singa. Singa adalah simbol
keberanian luar biasa, kekuatan dan kepemimpinan. Dianggap sebagai hewan yang
memiliki kekuatan, kecepatan, dan keberanian yang sempurna, simbol singa seringkali
dipakai oleh pangkat-pangkat tertinggi seperti raja, kaisar, dan jendral.
Burung hantu melambangkan kewaspadaan, kesabaran dan kebijaksanaan. Sebagai
predator yang aktif pada malam hari, burung hantu juga sering dikaitkan dengan
kekuatan sihir dan spiritual. Dipercaya, wajah burung hantu yang selalu
kelihatan serius menjadi alasan utama mengapa burung hantu menjadi simbol
kebijaksanaan. Hiu adalah simbol dari teror dan kekerasan. Para pelaut di
daerah barat, mengganggap hiu sebagai predator terkuat dan menggunakannya
sebagai tato sebagai pembuktian tidak adanya rasa takut terhadap kematian dan
hiu itu sendiri. Elang adalah simbol kecepatan, wawasan, kreativitas, dan
keseimbangan atara kekuatan dan keanggunannya. Orang-orang menganggap elang
adalah eksistensi yang tertinggi di udara, sama seperti singa yang dianggap
sebagai raja di daratan.
Aku
terangkan semua kepadanya. Aku melihat dia menyimak dengan penuh rasa ingin
tahu dengan semiotika tentang hewan.
“begitu
juga dengan lumba-lumba. Lumba-lumba melambangkan penyelamatan, kedamaian dan
rasa cinta. Pada masa yunani kuno, lumba-lumba di anggap sebagai simbol
perlindungan dan pedoman. Mereka percaya bahwa lumba-lumba yang berenang
bersamaan dengan kapal-kapal pelaut adalah utusan dari dewa untuk membimbing
mereka dalam sebuah perjalanan” imbuhku terakhir
“kalau
kamu milih apa?” sambung Widyaraga
“aku
memilih kamu sebenarnya” tetapi itu suara hatiku yang sukar untuk terucap
“pilih
apa aja boleh, hehehe” gurauku
“wuuuhh”
cemberutnya
Akhirnya
kita sampai ke Pulau Sempu setelah berlayar sekitar limabelas menit. Setelah
turun dari kapal, kita mulai berjalan melewati hutan bakau, mangga hutan dan
beberapa akar-akaran liar. Perjalanan yang akan memakan waktu hingga dua jam
lebih.
Mujniagara,
Nabo, Yamani dan Mithun sudah berada di depan. Fadly dan Saras menikmati
perjalanan dengan kemesraan, mereka ada jauh di depanku. Benar, aku berada
dibelakang bersama Widyaraga. Tak ada sesuatu hal yang romantis hingga ada
kejadian bahwa Widyaraga hamper terpeleset jatuh. Reflek aku memegang
tangannya.
“kamu
engga apa-apa?”
“ada
yang sakit?” imbuhku
“engga
apa-apa kok” jawabnya
“sudah,
istirahat dulu sini. Ini minum dulu” aku berikan dia minuman
“masih
jauh ya?” Tanya dia setelah minum
“Sebentar
lagi sampai, setengah jam lagi” ku yakinkan dia
“santai,
istirahat dulu” sambungku
“anak-anak
jauh didepan ya? Aku takut, ntar ada harimau gimana?” sigapnya
“kenapa
harus takut? Aman kok disini” jawabku
Sudah
aku persiapkan diri ini, ibarat laki-laki super lemah yang berlagak superhero.
Padahal aku sama kucing saja takut, apalagi sama hewan-hewan liar dihutan.
Mungkin jika sebentar lagi tertekan, aku bakal butuh bantuan Siwa dengan ilmu
Bhairawatantranya. Atau Rahwana idolaku dengan rawaronteknya. Tapi untukmu, aku
akan menjadi aku dengan segala aku untuk menjagamu.
“bagaimana?
Sudah mulai berkurang capeknya? Sini aku bawakan tas kamu” pintaku
“aku
kuat kok! Aku masih kuat” jawabnya meyakinkan
“baiklah,
ayo teruskan lagi perjalanannya” ajakku
Akhirnya
kita memulai perjalanan. Kulihat dia berusaha terus untuk kuat dalam
perjalanan. Garis wajahnya tipe pekerja keras dan tak tergambar bahwa
sebenarnya dia mudah galau. Keringat banyak didahinya. Hingga apa yang terjadi,
dia inginkan tanganku untuk menuntunnya. Sepanjang jalan kita bergandeng
tangan, seperti lagu diera orang tuaku. Senang dalam perjalanan hilangkan
letihnya selama perjalanan. Dan pada akhirnnya kita sampai ditujuan, di segara
anakan.
Para
wanita termasuk Widyaraga sedang beristirahat, kita laki-laki membangun tenda
untuk peristirahatan malam. Setelah tenda berdiri, kita memasukkan
barang-barang. Hingga senja berganti menjadi malam.
Malam
sudah olesi mata kita, bahwa gelap menyapa dengan jutaan bintang berantakan tak
berbentuk tetapi tetap saja indah dipandang. Akhirnya kita semua duduk
melingkar didepan tenda, bersama api unggun, bersama kemesraan, bersama
kehangatan romansa dan bersama ingin bagiku untuk seperti mereka. Aku lihat
Widyaraga tersenyum dengan melihat bintang- bintang hiasi semesta, aku tahu
dialah pemuja bintang.
“bintangnya
bagus sekali ya?” tanyaku
“bagiku,
bintang selalu bagus, selalu indah dan sangat menarik” jawabnya tanpa toleh aku
“tak
ada yang bisa menggantikan indahnya bintang” imbuhnya
“apa
aku tak bisa menggantikannya?” bicaraku dalam hati
“tak
ada yang bisa” dia berkata seakan tahu jika aku mengharapkannya
“sudah
malam aku mau istirahat dulu ya” pamitnya
“selamat
istirahat ya…” jawabku
“…malaikat
kecilku” imbuhku dalam hati
Suasana
hening, tak ada dia. Hanya beberapa teman yang masih ucapkan janji untuk setia
dan janji untuk mengubur duka. Aku iri, hingga aku putuskan mengambil buku
didalam tasku untuk membuta puisi. Puisi itu bertuliskan…
BINTANG BERNAMA CINTA
Bintang itu belum bernama
Sepatutnya aku mengerti bahwa
semesta telah membukakan pintu
Dari luarpun sangat terlihat bahwa
tak ada apa-apa
Bintang itu belum bernama
Sinarnya bersuka berjalan silaukan
mata
Tangan ini mencari-cari pegangan
untuk hangatnya kemesraan
Bintang itu mulai bernama
Aku sangat senang, aku sangat suka
Seperti semut mencari sesuatu yang
manis
Bintang itu mulai bernama
Ketika ombak kecil tambahkan irama,
aku rebahkan untuk melihatnya
Yang sebenarnya redup, aku salah
mengartikannya
Dan… bintang itu bernama cinta…
Sempu,
12 juni 2012
Hingga
aku tulis satu puisi lagi, kemudian aku tertidur di atas pasir beralaskan
sarung yang malah aku buat tidur, tidak ku buat sholat. Lelap, lelap dan tak
ada mimpi selain sebelumnya mendoakan dia agar tak ada mimpi buruk dalam
tidurnya.
Pagiku
terbangun dengan matahari yang aku suka, hangatnya terasa. Seandainya dia juga
merasakan matahari, merasahan hangatnya hati ini, dan merasakan bagaimana saya
bernostalgia bersama cinta kepadamu disetiap malamku.
Para
wanita semuanya sudah berada di pantaik, bermain air laut, gembira dan tertawa.
Aku melihatnya seperti keceriaan anak TK tanpa ada beban dan tak mengerti dosa.
Semuanya murni, semuanya mengalir seperti do’a ibu kepada anaknya.
“Ini
susu coklatnya sudah dibuatkan, kamu khan engga minum kopi” ucap Fadly
“terima
kasih ya?” jawabku
“Jangan
berterima kasih ke Fadly woy, terima kasih sama yang buatin dong” sambung
Yamani
“siapa?”
tanyaku
“Mbaknya
Mithun. Cieee…” terus Yamani
“ehem!
Ehem!” sahut Muniagara
“Yaelaaahhh”
Heran Fadly
“Yaaa
Widyaraga tersayang dong” goda Yamani
“Hahahahaha…
Bangsat kalian!” senangku
Menjelang
siang, kita para laki-laki menceburkan diri ke laut, berenang, berjemur
kemudian berenang lagi. Kita piker sudah cukup untuk berbasah ria, kita sudahi
kemudian mengemas barang-barang. Setelah itu sore harinya kita berencana untuk pulang.
Semua barang sudah beres dan tak ada yang kita piker ketinggalan, kita semua
bergegas untuk jalan pulang.
Diperjalanan
seperti keberangakatan, dengan medan yang licin dan pohon berakar liar kita
harus lewati untuk mencapai dermaga penjemputan. Posisi perjalanan mirip waktu
berangkat, namun Nabo sudah mulai manja hingga dia di gendong sama Muniagara,
seperti saat itu waktu pulang dari MTD. Aku tetap berada paling belakang
bersama Widyaraga.
“kenapa
bintang kok selalu bagus ya?” tiba-tiba dia bertanya
“ya,
bagaimanapun juga kita tak bisa menandingi ciptaanNya” jawabku
“aku
suka bintang” girang dia
“kalau
suka bintang, tahu arti bintang engga?” tanyaku
“hmm…
apa yaaa? Faith?” jawabnya
“kurang
tepat” senyumku
“Love?
Beauty? Miss?” terus dia
“banyak
arti tentang bintang” jelasku
Bagi
para Ilmuwan, bintang adalah benda langit yang bersinar karena reaktor nuklir
didalamnya. Atom-atom digabungkan hingga memuntahkan energi dan membuatnya
memancarkan cahaya juga energi ke planet-planet disekitarnya. Bagi para pujangga,
bintang adalah jutaan makna. Penghibur sekaligus pemberi harapan. Teman bagi
mereka yang sendiri juga saksi untuk mereka yang bercinta. Bagi para tentara, bintang
adalah obsesi. Bintang adalah harga diri tertinggi. Bintang adalah kilau yang
harus diraih. Bintang adalah harkat juga martabat. Bintang adalah kekuasaan.
“dan bagiku adalah Hope” jawabku
“Bintang
adalah harapan” imbuhku
“seperti
para nelayan ya, dengan bintang mereka berharap bisa pulang. Seperti petani,
dengan bintang mereka tahu kapan panen dan menanam” tambahnya
“cerdas,
benar sekali” pujiku
Perjalanan
yang penuh dengan pembelajaran, dari yang tidak tahu menjadi tahu dan dari yang
tahu semakin bertambah pengetahuan akan ilmu.
“kemarin
disini lho kita bergandeng tangan dengan lamanya” kuberanikan untuk menggodanya
“kemaren
ya kemaren, sekarang ya sekarang. Beda khan?” jawabnya
Kemudian
menjadi hening, dengan ketakutan bahwa suasana akan berubah tak ramah lagi. Tapi
diperjalanan itu aku pasrah, dengan tak ada bahan lagi yang harus dibanggakan,
yang ada hanya bagaimana aku harus menjaga dia di alam bebas.
Alhasil
kita sudah sampai di dermaga penjemputan, sekitar setengah jam kita menunggu
kapal untuk menjemput. Kapal datang kita langsung berangkat meninggalkan Pulau
Sempu. Ada hiburan diatas kapal, bahwa nelayan yang merangkap sebagai nahkoda
kpal perahu yang kita naiki mirip teman kami yang bernama Haris Sule. Semuanya tertawa
diatas kapal. Akhirnya kita sampai di dermaga sendang biru. Kita turun dan
bersiap untuk pulang.
Diperjalanan
seperti perjalanan sebelumnya, sedikit bicara dan berkonsentrasi dengan
banyaknya tikungan tajam. Akhirnya disetengah perjalanan ad apembicaraan.
“kenapa
kamu suka aku?” Tanya Widyaraga
“Ha?”
“kenapa?
Engga boleh?” kuberanikan untuk menjawabnya
“engga
gitu, aneh aja buatku. Padahal kita berteman” tuturnya
“apa
kita harus musuhan?” jawabku singkat
“ya
engga gitu, aneh aja bagiku. Padaahal dulu kamu deket sama Nabo, tapi kamu kok
bisa suka sama aku” jelas dia
“terus
dulu siapa yang suruh aku move on ketika aku jatuh? Ketika Nabo selingkuh?”tanyaku
“aku”
singkatnya
“iya
kamu khan? Terus kenapa kalau aku suka sama kamu” serius kubertanya
“aneh
aja buatku. Aku engga pernah sebelumnya kaya gini. Maksudku, aku engga pernah
ada cinta dimulai dari pertemanan” ungkapnya
“terus
kenapa kalau begini? Apa aku harus engga kenal lebih dulu?” jelasku
“ya
engga gitu juga sih, aneh aja buatku”
“aku
masih ingin istirahat, aku engga mau nyakitin orang lagi, aku engga mau ngasi
harapan ke orang. Aku capek, aku ingin istirahat. Aku ingin istirahatkan hati
ini” jelasnya lanjut
“ya
jika itu idealism, aku jalani aja ini semua. Aku engga mau memaksa, aku santai
aja kok suka sama kamu. Aku tak pernah meminta untuk membalas sayang ini. Ini sudah
cukup obtain kekecewaanku, I am broken hearted since 2001” imbuhku
Perjalanan
hening tak ada suara selain motor ini dan beberapa truk yang menyalip. Tak ada
suara selain angin yang terhempas.
“Kamu
bete?”
“Kamu
bete ya?” Tanya dia
“Kamu
bete El?” Tanyanya lagi
“Engga
kok” jawabku menoleh dan menggelengkan kepala.
Terus
hening hingga perjalanan sampai di depan gang rumahnya, entah kenapa aku tak
bisa mengantarkan tepat didepan pintu rumahnya. Ada hal apa aku engga ngerti,
sangat jauh nalar ini untuk berfikir.
“Widyaraga…
Jika suatu saat ada seseorang yang sayang sama kamu, jangan tanyakan kenapa dia
sayang sama kamu. Tapi… tanyakan untuk apa dia sayang kepadamu. Terimakasih ya,
jaga diri baik-baik” sedihku mengucapkan perpisahan
Hingga
hari selanjutnya bahwa Bintang dan Lumba-lumba adalah kesatuan romansa, hingga
menunggu batu intan untuk keabadian cinta dan janji yang mengikat cinta.
0 komentar:
Posting Komentar