DARAH YANG MENAHUN
I
triumphed in the face of adversity…
and I became the man I never thought I'd be.
And now my biggest challenge, a thing called love…
I guess I'm not as tough as I thought I was.
and I became the man I never thought I'd be.
And now my biggest challenge, a thing called love…
I guess I'm not as tough as I thought I was.
Lirik
yang aku suka ketika duduk bersandar nikmati beberapa rokok sebelum berangkat
untuk suatu perjalanan. Mencumbu udara sembari menyiapkan beberapa pakaianku
sebagai ganti selama berkeliling wisata.
Aku adalah mahasiswa sastra semester akhir dan juga seorang penikmat
alam dan budaya, aktif dalam UKM Fakultas di kampusku.
Hari ini
aku sendiri sudah siap untuk perjalanan ke Gunung Welirang , dataran tinggi
yang berada di perbatasan antara Malang dan Mojokerto. Aku berangkat kira-kira
jam Sembilan pagi dengan mengendarakan motor bebek kesayangan, motor yang menemaniku
setiap perjalanan mbolang. Perjalanan
yang sangat membosankan, menjadi diri yang kerdil diantara truk dan bus yang
banyak melaju ke Pasuruan dan Surabaya.
“Ah!
Kapan aspal ini akan berakhir”. Gumamku dalam hati.
Hingga
dalam perjalanan terpaku dengan megahnya Candi Jawi, salah satu bangunan
peninggalan Kerajaan Singosari yang mewakili peninggalan kuno pada saat ini.
Kokoh menjulang dan mencakar langit, dengan membawa kisah kejayaan pada eranya.
Kebanggaan yang tidak ada habisnya ketika aku berdialog dengan bule, manusia yang diagungkan dan di
Dewa-dewakan di Kampusku yang hampir mengalahkan Ganesha.
“Bule
lagi! Suatu saat jongosku pasti bule!!!”. Berontakku dalam hati.
Perjalanan
melewati tretes, daerah yang terkenal akan nuansa cinta dan gairah, banyak
pemuda-pemudi hingga orang setengah baya berpasangan. Tergambar jelas pada
mereka untuk segera sampai ditempat peraduan, semacan losmen, motel, hotel,
penginapan bahkan villa. Hingga akhirnya… Brakkk!!! Aku menabrak ekor truk yang
ada di depaanku, slebor motor
kesayanganku pecah. Darah sudah naik, segera aku turun dari motorku dan
menghampiri supir truk itu.
“Turun!
Lekas turun Pak!!!”. Marahku kepadanya
“cepat
Turun!!!”.
Belum
sempat aku membuka pintu supir, aku melihat sosok yang tergeletak di depan truk
itu. Aku menoleh ke supir dengan kagetnya, ternyata ada sosok ibu setengah baya
yang tertabrak, dia bersama sepeda roda duanya hampir terlindas oleh truk itu.
“Pak!
Turun! Tolong ini!!”. Suruhku pada supir
Segera
aku lari kedepan truk dan melihat apa yang terjadi. Ibu itu merintih kesakitan
tanpa bisa bersuara, aku tahu itu dari ekspresi yang terlihat. Wajahnya sudah
berlumuran darah. Aku bingung harus bagaimana, segera aku ambil sepeda itu dan
membuangnya di rerumputan pinggir jalan.
“Ibu
engga apa-apa?”. Tanyaku
“Pak
cepet! Tolong ini!”. Teriakku
Kemudian
supir itu segera turun dan cepat menghampiri kami.
“Ibu
masih sadar dik?”. Supir itu bertanya
“Masih
Pak, ayo kita angkat”. Jawabku
Saya
yang masih bingung harus mulai dari mana, segera aku tarik ibu itu keluar dari
bawah truk, kemudian dia pingsan tak sadarkan diri.
“Lho
dik, sudah meninggal”. Supir itu heran
Kaget
aku, heran bersama takut sudah menjadi sesuatu yang angker saat itu.
“Apa
benar Pak?”. Tanyaku
“Liat
dulu detak jantungnya”. Suruhnya
Yang aku
tangkap dari pembicaraan bahwa aku disuruh merasakan nadi yang ada ditangannya,
suasana yang panik buatku tolol. Segera aku cari nadi di pergelangan tangannya,
entah telaten atau sangat bodohnya aku, prose situ berlangsung begitu lama.
“Kamu
putar-putar tangan itu mau cari apa? Segera liat detak jantungnya!”. Dengan
tinggi nadanya
Serasa
baru mendapat koneksi sinyal bagus, aku segera periksa detak jantungnya.
“Masih
Pak!”. Sentak aku
Suasana
saat itu begitu sepi dikarenakan jalanan yang bukan jalur provinsi, kita saat
itu hanya bertiga. Aku, supir truk dan ibu yang tertabrak.
“Ayo
cepet bawa ke rumah sakit”. Ajak supir itu
Dengan
sigap aku bopong ibu itu kedalam truk, aku rebahkan dikursi sebelah supir itu.
“Ini
rumah sakitya dimana Pak? Motor saya bagaimana?”. Tanyaku
“Sekitar
limabelas menit dari sini, lurus terus kemudian ada perempatan. Nah! Baru
kekanan”. Jawabnya
“Biar
aku sama ibu, kamu lekas bawa motormu kesana, kita bertemu di Rumah Sakit”.
Imbuhnya
“Motorku
masih bisa Pak, tapi benar-benar kerumah sakit ya? Anda jangan lari ya Pak!”.
Curigaku kepadanya
“Sudahlah!
Percaya sama aku! Cepat kesana”. Suruhnya kepadaku untuk langsung ke Rumah
Sakit
Dengan
tergesa-gesa aku hidupkan motorku, tapi aku masih tidak percaya sama supir itu.
Aku menunggu hingga dia berangkat terlebih dahulu.
“Nunggu
apa lagi kamu?! Cepat berangkat! Lapor dulu ke UGD disana!”. Dengan ketus ia
bicara dari jendela pintu
Benar
juga, agar lebih efisien saya harus ke Rumah Sakit terlebih dahulu untuk
memberitahukan pihak UGD.
“Hati-hati
ya Pak! Saya tunggu disana”. Langsung aku melaju
Memacu
motor ini seakan kerasukan setan yang tak takut akan bahaya, jalanan begitu
sepi dengan langit saat itu menyapa dengan mega.
“itu
didepan ada perempatan, kanan!”. Pikirku
Kemudian
aku belokkan motor ini, berkisar lima menit aku sudah melihat ada Rumah Sakit
dikanan jalan. Kusebrangakn motor ini hingga aku masuk kesana. Segera aku cari
parkiran yang ternyata berada di Belakang bangunan tapi masih dalam satu pagar
Rumah Sakit itu. Segera aku turun.
“Pak,
UGD dimana?”. Tanyaku kepada security
“Siapa
yang sakit?”. Dia balik Tanya
Security
itu sudah tua, mungkin diasecurity yang hanya menjaga dan mengatur motor atau
mobil yang parkir di Rumah Sakit itu.
“Maaf
Pak! UGD dimana?”. Nadaku sudah berirama emosional
“oh
didepan dik, ini naik tangga kemudian lurus aja”. Jawabnya
“Terima
kasih Pak”. Terus aku berlari
Berlari
melewati lorong-lorong, bangsal-bangsal dan orang-orang yang sedang aktif
mengisi kegiatan disana. Hingga pandanganku menemukan tulasan Instalasi Gawat
Darurat. Tergesa-gesa aku masuk. Segera kubuka pintunya.
“Mas
keluarga Ibu Widya?”. Seorang suster disana bertanya
Ibu
widya, siapa Ibu Widya. Apakah ibu tadi bernama ibu widya. Bagaimana suster ini
tahu kalau ibu tadi itu bernama ibu widya.
“Ibu
Widya itu yang kecelakaan khan Sus?”. Tanyaku sembari menjinjit dan menengok
keadaan didalam UGD
“Iya
Mas, yang tadi kecelakaan”. Jawabnya
“Iya
Suster, saya keluarganya”. Tambahku
“Silahkan
Mas”. Suruh suster itu mempersilahkan aku masuk
Baru
satu langkah aku masuk, tiba-tiba dari belakang ada suara ramai dan menyuruhku.
“Minggir,
Minggir jangan di pintu”.
“Minggir
Mas, jangan dipintu”. Suruh orang di belakangku
Ketika
saya membalikkan badan, ternyata yang di belakangku adalah supir truk itu tadi
dengan beberapa suster mendorong tempat tidur roda yang biasanya dipakai utuk
memindahkan orang yang sakit.
“Lho
Pak?”. Heranku
“Ayo
cepat dibawa masuk”. Ajak supir itu
Akhirnya
Ibu korban tadi segera mendapatkan pertolongan, aku yang tidak kuat melihat
darah hanya bisa menunggu dari luar saja. Menunggu dengan semua planning yang
gagal, yang ada dipikiran saat itu bagaimana mengenai Ibu ini. Siapa ibu ini,
rumahnya dimana dan bagaimana ibu ini itupun aku masih bingung. Hisap terus
rokok ini untuk menemani waktu yang terus berputar, menunggu kabar selanjutnya
datang.
Aku
bersandar ditembok putih, warna khas untuk Rumah Sakit di negaraku ini, warna
suci tapi dengan pemrintah yang menyulitkan masyarakatnya untuk menjadi sehat.
Ya, biaya kesehatan yang mahal dan akses gratisasi untuk orang yang tak
mampu-pun sangat amat tak mungkin adanya. Sudahlah, biar mereka yang diatas
yang merasakan kemerdekaan, tapi aku yakin, kita akan merdeka diatasnya mereka…
“Biaya!”.
Gumamku
“Siapa
sebentar lagi yang akan mengurusi semua administrasi ibu ini?”. Imbuhku
Menghela
nafas panjang serta kubenturkan tengkorak belakangku perlahan ke tembok.
Berfikir tentang semua yang baru beberapa jam tadi terjadi. Siapa Ibu itu,
Siapa Ibu Widya, Siapa aku sebenarnya. Proses berfikir yang panjang pencarian
semua jawaban yang telah terjadi, jalan dimana aku harus menjadi sesutau yang
bermanfaat bagi orang lain tanpa harus memikirkan siapa aku tadi dan apa yang
aku bawa selama ini. Karena aku harus belajar bagaimana aku selanjutnya,
bagaimana orang tersenyum atas kita. Bukan menjadi yang terhebat mendekati
tuhan, memukul orang karena tak seiman.
Sudah
hampir setengah jam saya duduk merenung. Banyak rokok sudah terhisap dan masih
berfikir kenapa saya harus menunggu dan berada di Rumah Sakit ini, bukannya aku
punya rencana lain, yaitu menikmati alam
Gunung Welirang yang bermakadam dengan air segar di Pos Kop-Kopan atau melihat
beberapa gubuk unik masyarakat pencari belerang di Pos pondokan.
“Mas,
sudah makan?”. Seorang wanita muda menghampiriku
“Ha? Apa
Mbak?”. Tanyaku tersadar
“Mas
sudah makan?”. Dia bertanya lagi
“Saya
Mbak?”. Selidik aku
Aku
menoleh kiri dan kanan mencari seseorang selain aku.
“Iya
kamu yang pakai baju hitam dan berkacamata!”. Deskripsi dia
“Iya
Mbak. Eh! Belum Mbak”. Jawabku bingung
“Ayo
kita ke kantin dulu”. Ajak dia sembari mengulurkan tangannya mencoba meraih
lenganku.
Kemudian
aku berdiri dan berjalan dibelakangnya. Seketika aku bertanya-tanya, siapa dia.
Apakah dia seorang polwan, dilihat potongan rambutnya yang merupakan style
abadi bagi seorang polwan, yaitu potongan pendek.
Berjalan
teus mencari kantin, melewati bangsal-bangsal orang sakit, melewati lorong
panjang, belok ke kiri, belok kekanan, ritme yang membosankan saat itu tetapi
semua kalah dengan semua pertanyaan yang timbul tentang siapa wanita itu.
Akhirnya kita sampai ke kantin Rumah Sakit. Kemudian kita duduk berhadapan di
meja bulat.
“Mau
makan apa?”. Tanya dia
“Hmmmm….
Apa ya yang enak”. Selidik aku ke list menu yang banyak itu
“Bakso?
Orang malang khan suka bakso”. Tebak dia
“ha?”.
Heranku
“Iya
khan, orang malang khan banyak yang suka bakso Mas. Sampai-sampai banyak
penjual bakso disana khan? Atau mau pesen yang lain saja?”. Oceh dia
“Pecel
saja. Iya, pecel saja sama minumnya es jeruk kecut Mbak”. Ucapku
“Ok, aku
juga pesan yang sama aja deh”. Imbuhnya
“Malang?!
Kenapa dia tahu aku dari Malang? Siapa dia sebenarnya?”. Heranku dalam hati
“Eh iya,
bagaimana kuliahmu?”. Tanya dia
“Ya gitu
itu Mbak, standard an keluar jalur. Hehehe…”. Kataku meringis
“Keluar
jalur gimana maksudmu?”. Heran dia
“Ya
keluar jalur Mbak, alias engga tepat waktu dan bakal lulus bukan di semester
delapan”. Santaiku berbicara
“Oalah…
mahasiswa wajar kalo begitu itu”. Bela dia
“Mbak
ini….”. Belum selesai aku ngomong
Tiba-tiba
pelayan kantin datang dengan membawa makanan dan minuman yang kita pesan.
“Silahkan…”.
Lembut pelayan itu
“Iya…
Terimakasih”. Bersamaan ku menjawab
“Ayo
makan dulu Mas”. Ucap dia
Akhirnya
kita melahap makanan yang kita pesan. Memang perut waktu itu sudah tidak bisa bertahan
untuk beberapa jam. Aku sudah lapar sekali, dengan lahap aku makan. Belum habis
makanan tiba-tiba suster datang.
“Mbak
Nisia”. Panggil suster itu
“Iya”. Jawabnya
Kemudian
suster itu mendekati meja kami. Akhirnya dia berbicara dengan wanita yang
ternyata baru aku ketahui namanya adalah Nisia. Mungkin namanya Indonisia atau
Sinisia atau Bonisia atau Dionisia atau apalah, yang ku tahu panggilannya
adalah Nisia. Perbincangan serius membuat wanita itu kaget kemudian mengajakku
untuk menyudahi makannya. Padahal perut saat itu belum kenyang sama sekali,
hanya beberapa sendok yang masuk keperutku,, selebihnya masih di dalam piring.
Kami
berjalan agak cepat, seperti atlet yang sedang ketinggalan kereta karena jadwal
latihan. Lagi-lagi melewati lorong-lorong dan bangsal-bangsal. Akhirnya kita
sampai ke UGD lagi kemudian Nisia bergegas masuk dan memeluk tubuh seseorang
yang tertutup selimut sambil menangis histeris.
“Ibu…
Ibu… jangan pergi dulu ibu…”. Menangis dia
“Jangan
tinggalin Dionisia, Ibu…”. Imbuhnya
Kemudian
aku ketahui bahwa yang dia peluk adalah ibunya. Seorang ibu yang Dionisia
cintai, aku bisa melihatnya dan merasakan bagaimana kondisi psikologinya saat
ini. Kemudian dia bangkit, terus membuka selimut yang menutupi wajahnya. Sontak
aku kaget, ternyata ibu dari Dionisia adalah Ibu Widya.
“Ya
Tuhan, semoga dia tenang bersamamu”. Aku membatin
“Tenang
Mbak, ikhlaskan Mbak, semua bakal kembali ke Tuhan”. Imbuhku sembari
menenagkannya
Akhirnya
mayat ibu widya diurusi oleh dokter dan suster disana, pada saat itu juga aku
duduk memeluk pundak Dionisia, mencoba menenangkannya. Dia tak berhenti untuk
terus menangis, kepalanya dia sandarkan dibahuku, reflek ku elus-elus
kepalanya.
“El…”. Lirih
suaranya
“Iya…”.
Jawabku heran, bagaimana dia tahu namaku
“Kamu
ingat ini?”. Sembari mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Dan ternyata itu adalah
sebuah foto. Disitu jelas ada fotoku dan foto pacarku Bona, foto yang masih
semester 2, rambut masih gondrong saat itu dan berada didalam bangsal rumah
sakit berfoto dengan seorang wanita.
“Kamu
ingat El…?”. Imbuhnya
Aku
teringat ketika saat itu aku sedang menolong wanita yang terlempar dari mobil
jeep, seperti adegan pemerkosaan di jepang. Ketika itu aku sama Bona sedang
berada di Singosari perjalanan mau ke kebun teh di Lawang. Kemudian sangat
kaget melihat ibu-ibu itu yang di lempar keluar oleh seorang pria dari mobilnya,
terus ibu itu ditinggal pergi dengan kondisi memar-memar, luka-luka dan tulang
retak. Singkat cerita kita menolong ibu itu ke RS saiful anwar Malang.
“Iya,
aku ingat. Aku ingat sekali. Ini kejadian beberapa tahun yang lalu”. Tegasku
“Bagaimana
kau tahu jika itu aku?”.selidik aku
“Kenapa
kau tak bicari sejak dari tadi?”. Sambungku dengan parau
Suasana
hening namun bingar dengan kegaduhan hati yang terus berontak, seperti dentuman
tong yang terus menggema.
“Ibuku
sangat berterimakasih kepadamu El… Abdel Firdaus El Karim. Karena dia ibumu
yang sebenarnya”. Tanggap Dionisia
Seperti saat itu juga ada diam dan ada
tangisku. Ada dosa dan doa yang terus terpanjatkan kepada penghuni semesta.
0 komentar:
Posting Komentar