Jumat, 15 Juni 2012

Darah Yang Menahun


DARAH YANG MENAHUN


I triumphed in the face of adversity…
and I became the man I never thought I'd be.
And now my biggest challenge, a thing called love…
I guess I'm not as tough as I thought I was.


Lirik yang aku suka ketika duduk bersandar nikmati beberapa rokok sebelum berangkat untuk suatu perjalanan. Mencumbu udara sembari menyiapkan beberapa pakaianku sebagai ganti selama berkeliling wisata.  Aku adalah mahasiswa sastra semester akhir dan juga seorang penikmat alam dan budaya, aktif dalam UKM Fakultas di kampusku.
Hari ini aku sendiri sudah siap untuk perjalanan ke Gunung Welirang , dataran tinggi yang berada di perbatasan antara Malang dan Mojokerto. Aku berangkat kira-kira jam Sembilan pagi dengan mengendarakan motor bebek kesayangan, motor yang menemaniku setiap perjalanan mbolang. Perjalanan yang sangat membosankan, menjadi diri yang kerdil diantara truk dan bus yang banyak melaju ke Pasuruan dan Surabaya.

“Ah! Kapan aspal ini akan berakhir”. Gumamku dalam hati.

Hingga dalam perjalanan terpaku dengan megahnya Candi Jawi, salah satu bangunan peninggalan Kerajaan Singosari yang mewakili peninggalan kuno pada saat ini. Kokoh menjulang dan mencakar langit, dengan membawa kisah kejayaan pada eranya. Kebanggaan yang tidak ada habisnya ketika aku berdialog dengan bule, manusia yang diagungkan dan di Dewa-dewakan di Kampusku yang hampir mengalahkan Ganesha.

“Bule lagi! Suatu saat jongosku pasti bule!!!”. Berontakku dalam hati.

Perjalanan melewati tretes, daerah yang terkenal akan nuansa cinta dan gairah, banyak pemuda-pemudi hingga orang setengah baya berpasangan. Tergambar jelas pada mereka untuk segera sampai ditempat peraduan, semacan losmen, motel, hotel, penginapan bahkan villa. Hingga akhirnya… Brakkk!!! Aku menabrak ekor truk yang ada di depaanku, slebor motor kesayanganku pecah. Darah sudah naik, segera aku turun dari motorku dan menghampiri supir truk itu.

“Turun! Lekas turun Pak!!!”. Marahku kepadanya
“cepat Turun!!!”.

Belum sempat aku membuka pintu supir, aku melihat sosok yang tergeletak di depan truk itu. Aku menoleh ke supir dengan kagetnya, ternyata ada sosok ibu setengah baya yang tertabrak, dia bersama sepeda roda duanya hampir terlindas oleh truk itu.

“Pak! Turun! Tolong ini!!”. Suruhku pada supir

Segera aku lari kedepan truk dan melihat apa yang terjadi. Ibu itu merintih kesakitan tanpa bisa bersuara, aku tahu itu dari ekspresi yang terlihat. Wajahnya sudah berlumuran darah. Aku bingung harus bagaimana, segera aku ambil sepeda itu dan membuangnya di rerumputan pinggir jalan.

“Ibu engga apa-apa?”. Tanyaku
“Pak cepet! Tolong ini!”. Teriakku
Kemudian supir itu segera turun dan cepat menghampiri kami.
“Ibu masih sadar dik?”. Supir itu bertanya
“Masih Pak, ayo kita angkat”. Jawabku

Saya yang masih bingung harus mulai dari mana, segera aku tarik ibu itu keluar dari bawah truk, kemudian dia pingsan tak sadarkan diri.

“Lho dik, sudah meninggal”. Supir itu heran

Kaget aku, heran bersama takut sudah menjadi sesuatu yang angker saat itu.

“Apa benar Pak?”. Tanyaku
“Liat dulu detak jantungnya”. Suruhnya

Yang aku tangkap dari pembicaraan bahwa aku disuruh merasakan nadi yang ada ditangannya, suasana yang panik buatku tolol. Segera aku cari nadi di pergelangan tangannya, entah telaten atau sangat bodohnya aku, prose situ berlangsung begitu lama.

“Kamu putar-putar tangan itu mau cari apa? Segera liat detak jantungnya!”. Dengan tinggi nadanya

Serasa baru mendapat koneksi sinyal bagus, aku segera periksa detak jantungnya.

“Masih Pak!”. Sentak aku

Suasana saat itu begitu sepi dikarenakan jalanan yang bukan jalur provinsi, kita saat itu hanya bertiga. Aku, supir truk dan ibu yang tertabrak.

“Ayo cepet bawa ke rumah sakit”. Ajak supir itu

Dengan sigap aku bopong ibu itu kedalam truk, aku rebahkan dikursi sebelah supir itu.

“Ini rumah sakitya dimana Pak? Motor saya bagaimana?”. Tanyaku
“Sekitar limabelas menit dari sini, lurus terus kemudian ada perempatan. Nah! Baru kekanan”. Jawabnya
“Biar aku sama ibu, kamu lekas bawa motormu kesana, kita bertemu di Rumah Sakit”. Imbuhnya
“Motorku masih bisa Pak, tapi benar-benar kerumah sakit ya? Anda jangan lari ya Pak!”. Curigaku kepadanya
“Sudahlah! Percaya sama aku! Cepat kesana”. Suruhnya kepadaku untuk langsung ke Rumah Sakit

Dengan tergesa-gesa aku hidupkan motorku, tapi aku masih tidak percaya sama supir itu. Aku menunggu hingga dia berangkat terlebih dahulu.

“Nunggu apa lagi kamu?! Cepat berangkat! Lapor dulu ke UGD disana!”. Dengan ketus ia bicara dari jendela pintu

Benar juga, agar lebih efisien saya harus ke Rumah Sakit terlebih dahulu untuk memberitahukan pihak UGD.

“Hati-hati ya Pak! Saya tunggu disana”. Langsung aku melaju

Memacu motor ini seakan kerasukan setan yang tak takut akan bahaya, jalanan begitu sepi dengan langit saat itu menyapa dengan mega.

“itu didepan ada perempatan, kanan!”. Pikirku

Kemudian aku belokkan motor ini, berkisar lima menit aku sudah melihat ada Rumah Sakit dikanan jalan. Kusebrangakn motor ini hingga aku masuk kesana. Segera aku cari parkiran yang ternyata berada di Belakang bangunan tapi masih dalam satu pagar Rumah Sakit itu. Segera aku turun.

“Pak, UGD dimana?”. Tanyaku kepada security
“Siapa yang sakit?”. Dia balik Tanya

Security itu sudah tua, mungkin diasecurity yang hanya menjaga dan mengatur motor atau mobil yang parkir di Rumah Sakit itu.

“Maaf Pak! UGD dimana?”. Nadaku sudah berirama emosional
“oh didepan dik, ini naik tangga kemudian lurus aja”. Jawabnya
“Terima kasih Pak”. Terus aku berlari

Berlari melewati lorong-lorong, bangsal-bangsal dan orang-orang yang sedang aktif mengisi kegiatan disana. Hingga pandanganku menemukan tulasan Instalasi Gawat Darurat. Tergesa-gesa aku masuk. Segera kubuka pintunya.

“Mas keluarga Ibu Widya?”. Seorang suster disana bertanya

Ibu widya, siapa Ibu Widya. Apakah ibu tadi bernama ibu widya. Bagaimana suster ini tahu kalau ibu tadi itu bernama ibu widya.

“Ibu Widya itu yang kecelakaan khan Sus?”. Tanyaku sembari menjinjit dan menengok keadaan didalam UGD
“Iya Mas, yang tadi kecelakaan”. Jawabnya
“Iya Suster, saya keluarganya”. Tambahku
“Silahkan Mas”. Suruh suster itu mempersilahkan aku masuk

Baru satu langkah aku masuk, tiba-tiba dari belakang ada suara ramai dan menyuruhku.

“Minggir, Minggir jangan di pintu”.
“Minggir Mas, jangan dipintu”. Suruh orang di belakangku
Ketika saya membalikkan badan, ternyata yang di belakangku adalah supir truk itu tadi dengan beberapa suster mendorong tempat tidur roda yang biasanya dipakai utuk memindahkan orang yang sakit.

“Lho Pak?”. Heranku
“Ayo cepat dibawa masuk”. Ajak supir itu

Akhirnya Ibu korban tadi segera mendapatkan pertolongan, aku yang tidak kuat melihat darah hanya bisa menunggu dari luar saja. Menunggu dengan semua planning yang gagal, yang ada dipikiran saat itu bagaimana mengenai Ibu ini. Siapa ibu ini, rumahnya dimana dan bagaimana ibu ini itupun aku masih bingung. Hisap terus rokok ini untuk menemani waktu yang terus berputar, menunggu kabar selanjutnya datang.
Aku bersandar ditembok putih, warna khas untuk Rumah Sakit di negaraku ini, warna suci tapi dengan pemrintah yang menyulitkan masyarakatnya untuk menjadi sehat. Ya, biaya kesehatan yang mahal dan akses gratisasi untuk orang yang tak mampu-pun sangat amat tak mungkin adanya. Sudahlah, biar mereka yang diatas yang merasakan kemerdekaan, tapi aku yakin, kita akan merdeka diatasnya mereka…

“Biaya!”. Gumamku
“Siapa sebentar lagi yang akan mengurusi semua administrasi ibu ini?”. Imbuhku

Menghela nafas panjang serta kubenturkan tengkorak belakangku perlahan ke tembok. Berfikir tentang semua yang baru beberapa jam tadi terjadi. Siapa Ibu itu, Siapa Ibu Widya, Siapa aku sebenarnya. Proses berfikir yang panjang pencarian semua jawaban yang telah terjadi, jalan dimana aku harus menjadi sesutau yang bermanfaat bagi orang lain tanpa harus memikirkan siapa aku tadi dan apa yang aku bawa selama ini. Karena aku harus belajar bagaimana aku selanjutnya, bagaimana orang tersenyum atas kita. Bukan menjadi yang terhebat mendekati tuhan, memukul orang karena tak seiman.
Sudah hampir setengah jam saya duduk merenung. Banyak rokok sudah terhisap dan masih berfikir kenapa saya harus menunggu dan berada di Rumah Sakit ini, bukannya aku punya rencana lain, yaitu  menikmati alam Gunung Welirang yang bermakadam dengan air segar di Pos Kop-Kopan atau melihat beberapa gubuk unik masyarakat pencari belerang di Pos pondokan.
“Mas, sudah makan?”. Seorang wanita muda menghampiriku
“Ha? Apa Mbak?”. Tanyaku tersadar
“Mas sudah makan?”. Dia bertanya lagi
“Saya Mbak?”. Selidik aku

Aku menoleh kiri dan kanan mencari seseorang selain aku.

“Iya kamu yang pakai baju hitam dan berkacamata!”. Deskripsi dia
“Iya Mbak. Eh! Belum Mbak”. Jawabku bingung
“Ayo kita ke kantin dulu”. Ajak dia sembari mengulurkan tangannya mencoba meraih lenganku.

Kemudian aku berdiri dan berjalan dibelakangnya. Seketika aku bertanya-tanya, siapa dia. Apakah dia seorang polwan, dilihat potongan rambutnya yang merupakan style abadi bagi seorang polwan, yaitu potongan pendek.
Berjalan teus mencari kantin, melewati bangsal-bangsal orang sakit, melewati lorong panjang, belok ke kiri, belok kekanan, ritme yang membosankan saat itu tetapi semua kalah dengan semua pertanyaan yang timbul tentang siapa wanita itu. Akhirnya kita sampai ke kantin Rumah Sakit. Kemudian kita duduk berhadapan di meja bulat.
“Mau makan apa?”. Tanya dia
“Hmmmm…. Apa ya yang enak”. Selidik aku ke list menu yang banyak itu
“Bakso? Orang malang khan suka bakso”. Tebak dia
“ha?”. Heranku
“Iya khan, orang malang khan banyak yang suka bakso Mas. Sampai-sampai banyak penjual bakso disana khan? Atau mau pesen yang lain saja?”. Oceh dia
“Pecel saja. Iya, pecel saja sama minumnya es jeruk kecut Mbak”. Ucapku
“Ok, aku juga pesan yang sama aja deh”. Imbuhnya

“Malang?! Kenapa dia tahu aku dari Malang? Siapa dia sebenarnya?”. Heranku dalam hati
“Eh iya, bagaimana kuliahmu?”. Tanya dia
“Ya gitu itu Mbak, standard an keluar jalur. Hehehe…”. Kataku meringis
“Keluar jalur gimana maksudmu?”. Heran dia
“Ya keluar jalur Mbak, alias engga tepat waktu dan bakal lulus bukan di semester delapan”. Santaiku berbicara
“Oalah… mahasiswa wajar kalo begitu itu”. Bela dia
“Mbak ini….”. Belum selesai aku ngomong

Tiba-tiba pelayan kantin datang dengan membawa makanan dan minuman yang kita pesan.

“Silahkan…”. Lembut pelayan itu
“Iya… Terimakasih”. Bersamaan ku menjawab
“Ayo makan dulu Mas”. Ucap dia

Akhirnya kita melahap makanan yang kita pesan. Memang perut waktu itu sudah tidak bisa bertahan untuk beberapa jam. Aku sudah lapar sekali, dengan lahap aku makan. Belum habis makanan tiba-tiba suster datang.

“Mbak Nisia”. Panggil suster itu
“Iya”. Jawabnya

Kemudian suster itu mendekati meja kami. Akhirnya dia berbicara dengan wanita yang ternyata baru aku ketahui namanya adalah Nisia. Mungkin namanya Indonisia atau Sinisia atau Bonisia atau Dionisia atau apalah, yang ku tahu panggilannya adalah Nisia. Perbincangan serius membuat wanita itu kaget kemudian mengajakku untuk menyudahi makannya. Padahal perut saat itu belum kenyang sama sekali, hanya beberapa sendok yang masuk keperutku,, selebihnya masih di dalam piring.
Kami berjalan agak cepat, seperti atlet yang sedang ketinggalan kereta karena jadwal latihan. Lagi-lagi melewati lorong-lorong dan bangsal-bangsal. Akhirnya kita sampai ke UGD lagi kemudian Nisia bergegas masuk dan memeluk tubuh seseorang yang tertutup selimut sambil menangis histeris.

“Ibu… Ibu… jangan pergi dulu ibu…”. Menangis dia
“Jangan tinggalin Dionisia, Ibu…”. Imbuhnya

Kemudian aku ketahui bahwa yang dia peluk adalah ibunya. Seorang ibu yang Dionisia cintai, aku bisa melihatnya dan merasakan bagaimana kondisi psikologinya saat ini. Kemudian dia bangkit, terus membuka selimut yang menutupi wajahnya. Sontak aku kaget, ternyata ibu dari Dionisia adalah Ibu Widya.

“Ya Tuhan, semoga dia tenang bersamamu”. Aku membatin
“Tenang Mbak, ikhlaskan Mbak, semua bakal kembali ke Tuhan”. Imbuhku sembari menenagkannya

Akhirnya mayat ibu widya diurusi oleh dokter dan suster disana, pada saat itu juga aku duduk memeluk pundak Dionisia, mencoba menenangkannya. Dia tak berhenti untuk terus menangis, kepalanya dia sandarkan dibahuku, reflek ku elus-elus kepalanya.


“El…”. Lirih suaranya
“Iya…”. Jawabku heran, bagaimana dia tahu namaku
“Kamu ingat ini?”. Sembari mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Dan ternyata itu adalah sebuah foto. Disitu jelas ada fotoku dan foto pacarku Bona, foto yang masih semester 2, rambut masih gondrong saat itu dan berada didalam bangsal rumah sakit berfoto dengan seorang wanita.
“Kamu ingat El…?”. Imbuhnya

Aku teringat ketika saat itu aku sedang menolong wanita yang terlempar dari mobil jeep, seperti adegan pemerkosaan di jepang. Ketika itu aku sama Bona sedang berada di Singosari perjalanan mau ke kebun teh di Lawang. Kemudian sangat kaget melihat ibu-ibu itu yang di lempar keluar oleh seorang pria dari mobilnya, terus ibu itu ditinggal pergi dengan kondisi memar-memar, luka-luka dan tulang retak. Singkat cerita kita menolong ibu itu ke RS saiful anwar Malang.

“Iya, aku ingat. Aku ingat sekali. Ini kejadian beberapa tahun yang lalu”. Tegasku
“Bagaimana kau tahu jika itu aku?”.selidik aku
“Kenapa kau tak bicari sejak dari tadi?”. Sambungku dengan parau

Suasana hening namun bingar dengan kegaduhan hati yang terus berontak, seperti dentuman tong yang terus menggema.

“Ibuku sangat berterimakasih kepadamu El… Abdel Firdaus El Karim. Karena dia ibumu yang sebenarnya”. Tanggap Dionisia
 Seperti saat itu juga ada diam dan ada tangisku. Ada dosa dan doa yang terus terpanjatkan kepada penghuni semesta.

0 komentar:

Posting Komentar